Wednesday, December 29, 2010

TENTANG PAKEM WAYANG

Dalam dunia pedalangan wayang purwa, yang disebut "pakem" ialah cerita "asli" yang, oleh karenanya, lalu dipandang sebagai "babon" atau "induk" semua lakon atau cerita. Dengan kata lain "pakem" lalu berperanan sebagai semacam tempat penyimpanan lakon (repertoar), sekaligus sebagai semacam waduk atau petandoan (reservoar) dari mana lakon-lakon terbit mengalir.

Sejatinya dunia pedalangan wayang Jawa itu bersumber pada, atau bahkan boleh dikata usaha penceritaan ulang atau pembayangan kembali tentang, kisah bertumimbalnya hidup — yaitu proses perulangan sekaligus perkembangan, baik hidup "jagad gedhe", atau dunia semesta, maupun "jagad cilik", atau dunia manusia. Dalam pandangan pewayangan Jawa, sekaligus Jawa pewayangan, tentang tumimbalnya dua "jagad" itu melalui perjalanan yang sama: lahir – tua – mati. "Lahir" ialah penjadian atau peremajaan "dumadi" ("titah" atau "makhluk"), yang sesudah melalui perjalanan menjadi "tua", akan diakhiri dengan "mati" sebagai jalan pelepasan dari perjalanan ketuaan itu. Begitu manusia atau jagad cilik, begitu jugalah semesta raya atau jagad gedhe. Menurut ajaran mitologi Hindhu "jagad gedhe" ini, dengan membawa serta "jagad cilik di dalamnya, ada dalam kekuasaan satu dewa yang dalam peranannya beraspek tiga: mencipta, memelihara dan memusna.

Tiga aspek kuasanya itu mewujud dalam pribadi tiga dewa – trimurti: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Brahma sebagai Dewa Pencipta, Wisnu sebagai Dewa Pemelihara, dan Siwa sebagai dewa Pemusna. Selanjutnya "jagad gedhe" itu, dengan "jagad cilik" terbawa serta, mengalami kisah tumimbal hidup sepuluh kali. Dalam pewayangan masing-masing babakan kisah itu disebut "babad". Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma sang pencipta dan Siwa sang penghancur, perlu bertumimbal hidup – lahir tua dan mati – bersama para "titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti.

Menurut mitologi Hindu-Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai "wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan "boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana.

Tiga babakan kisah itu ialah semasa penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika Wisnu menitis sebagai brahmana yang bersenjata kampak atau Parasurama; penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati.

Dalam dunia pedalangan wayang Jawa, yang tersebut pertama terhimpun dalam pakem lakon atau babad Lokapala, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Harjunasasrabahu; yang tersebut kedua dalam pakem lakon Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya; yang tersebut ketiga dalam pakem lakon Mahabharata, ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber" lakon wayang itulah yang dinamai "pakem".

Dari pakem rangkaian lakon yang panjang ini (Bratayudha saja, misalnya, yaitu bagian akhir dari seluruh rangkaian lakon Mahabharata, memerlukan waktu pergelaran selama tujuh hari tujuh malam) bisa dipecah-pecah menjadi sekian banyak fragmen, yaitu cuplikan atau petikan lakon. Misalnya, dari Babad Lokapala, diambil fragmen "Sumantri Ngenger", yaitu ketika pemuda Sumantri berangkat meninggalkan desanya menuju ke kota untuk menghamba pada Raja Harjunasasrabahu. Atau fragmen "Rama Tambak" dari Ramayana misalnya, yaitu bagian lakon ketika balatentara monyet, di bawah pimpinan seekor monyet putih, Anoman, sebagai panglima, mereka membendung selat antara anak benua Jambudwipa dengan pulau Alengka.

Dengan demikian kita ketahui, dari satu "pakem" bisa lahir fragmen lakon yang tak terhitung banyaknya. Selain dari itu, juga atas dasar "pakem" tersebut setiap dalang mempunyai kebebasan untuk menciptakan lakon gubahan sendiri. Lakon-lakon baru gubahan dalang ini disebut lakon "carangan". Kata "carangan" berasal dari kata "carang", ialah cabang atau ranting dari satu batang bambu — "batang bambu" itulah "pakem", yang bisa dipenggal-penggal dalam seribu-satu penggalan; selain juga menumbuhkan "carang-carang" yang tak terbilang banyaknya.

Sumber:http://dhitos.wordpress.com/2006/06/15/tentang-pakem-wayang/

Tuesday, December 28, 2010

KISAH BHARATAYUDHA (BANJIR DARAH DI TEGAL KURUSETRA)

Bharatayudha sebuah kisah pertempuran hidup-mati antara kebaikan dan angkara murka.Bermula dari sebuah Negara yang diperebutkan yaitu Astina, Pandawa sebagai lambang dari kebaikan yang ingin kembali mengambil hak-nya yang telah 'dititipkan' kepada Kurawa, lambang dari angkara murka. Mulanya, Negara Astina adalah kepunyaan Prabu Pandu Dewanata, yakni tak lain ayah dari para Pandawa. Karena Pandu meninggal dalam masa pemerintahannya, dia menitipkan Negara Astina kepada kakak kandungnya yang buta yaitu Destrarata.

Destrarata berjanji akan mengembalikan Negara Astina kepada para Pandawa ketika mereka mulai dewasa nanti. Tapi apa daya suratan takdir sudah menentukan bahwa anak dari Destrarata yang serakah menginginkan Astina dan menjadikan Astina menjadikan hak miliknya. Duryudana putra sulung Destrarata akan mengancam bunuh diri kalau keinginannya tidak di sanggupi. Akhirnya Duryudana-lah yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Astina. Pandawa saat itu masih belum cukup umur hanya menerima dan berharap kakaknya itu mau menyerahkan Negara Astinya yang dititipkan ayahnya kepada para Pandawa.

Ternyata harapan para Pandawa tidak terwujud, dengan hasutan Patih Sengkuni yang licik, mempengaruhi Kurawa untuk mempertahankan Astina dengan berbagai cara. Kurawa berani mencelakai saudaranya sendiri hingga berani membunuh Pandawa. Pandawa yang selalu di dampingi Sri Batara Kresna sang titisan Wisnu mendapat keselamatan dari berbagai rencana licik Kurawa. Kehidupan para Pandawa sebagai pemilik sah Astina sangat hina, dibuang di hutan selama 13 tahun tapi semua itu mereka terima dengan lapang dada.

Hingga pada saatnya, Sri Kresna diutus menjadi duta Pandawa gagal juga untuk meminta hak Pandawa atas Astina. Peperangan-pun tak bisa dihindari. Satu demi satu punggawa Pandawa dan Astina menemuialnya. Gatutkaca, Adipati Karna, Bhisma, Sengkuni, Durna, Abimanyu dan masih banyak lagi. Hingga pada akhirnya Pandawa sebagai lambang kebaikan memenangi pertempuran ini, dan dinobatkannya Parikesit, putra Abimanyu juga cucunya Arjuna sebagai Raja Astina yang bergelar Prabu Kresnadwipayana. Kisah ini mengajarkan bagaimana kebenaran mesti dijunjung tinggi, tentang martabat dan harga diri harus dihormati.
http://es-es.facebook.com/note.php?note_id=473542046818

Thursday, December 16, 2010

Sri Sultan Bisa Merangkap Sebagai Gubernur Utama dan Gubernur

RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diajukan pemerintah tidak akan menggusur kewenangan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Sultan sangat bisa dimungkinkan merangkap sebagai gubernur utama dan gubernur. Sedangkan Paku Alam bisa merangkap sebagai wakil gubernur utama dan wakil gubernur utama.

RUUK DIY ini telah diserahkan pemerintah kepada DPR, Kamis (16/12/2010). Rencananya DPR akan membahas RUU ini pada Januari 2011, setelah masa reses selesai.

Dalam dokumen RUUK DIY yang didapatkan detikcom, RUUK ini terdiri dari 12 bab dan 40 pasal. Dari 12 bab itu, yang paling disoroti oleh publik adalah Bab IV mengenai Kewenangan, Bab V mengenai Bentuk dan Susunan Pemeritahan, dan Bab VI mengenai Tata Cara Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Berdasarkan RUUK DIY versi pemerintah, Pemerintahan Provinsi DIY nantinya akan terdiri dari Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini tercantum dalam Pasal 8.

Posisi Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama merupakan satu kesatuan dan otomatis akan dipegang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam. Sedangkan Pemerintah Provinsi akan dipimpin oleh gubernur dan wakil gubernur.

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama memiliki wewenang yang cukup strategis. Yaitu: memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang, dan penganggaran; memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur; dan memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Dalam pasal 13, dijelaskan mengenai kemungkinannya Sri Sultan dan Paku Alam sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama juga bisa menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur yang memimpin Pemerintah Provinsi DIY. Bunyi pasal 13 sebagai berikut: (1)Pemerintah Daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur. (2) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemerintah Daerah dipimpin oleh Gubernur dibantu Wakil Gubernur.

Berikut isi draft RUUK DIY selengkapnya untuk Bab IV mengenai Kewenangan dan Bab V mengenai Bentuk dan Susunan Pemerintah.

BAB IV
KEWENANGAN

Pasal 6

Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di Provinsi.

Pasal 7

1) Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

2) Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. penetapan fungsi, tugas dan wewenang Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi;
c. kebudayaan; dan
d. pertanahan dan penataan ruang.

3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat.

4)Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais.


BAB V
BENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 8

1) Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki bentuk dan susunan pemerintahan yang bersifat istimewa.
2) Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama, Pemerintah Daerah Provinsi dan DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Bagian Kedua
Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama

Pasal 9

1) Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam yang bertahta karena kedudukannya ditetapkan sebagai Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.

2) Penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Keputusan Presiden.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelembagaan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah atas usul Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam.

Pasal 10

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama berwenang:
a. Memberikan arah umum kebijakan dalam penetapan kelembagaan Pemerintah Daerah Provinsi, kebudayaan, pertanahan, penataan ruang, dan penganggaran;
b. Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Gubernur;


c. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian kerjasama yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Provinsi dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat.

Pasal 11

Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama berhak:
a. menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;
b. mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan/atau informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan menyangkut keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta;
c. mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais;
d. memiliki hak protokoler; dan
e. kedudukan keuangan yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Pasal 12

1) Apabila Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur Utama berhalangan tetap, pengisian Gubernur Utama dilakukan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono yang baru naik tahta.
2) Apabila Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur Utama berhalangan tetap, pengisian Wakil Gubernur Utama dilakukan setelah Sri Paku Alam yang baru naik tahta.

Bagian Ketiga
Pemerintah Daerah Provinsi

Pasal 13

(1) Pemerintah Daerah Provinsi dipimpin oleh Gubernur.
(2) Dalam hal Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemerintah Daerah dipimpin oleh Gubernur dibantu Wakil Gubernur.


Pasal 14

Dalam hal Gubernur Utama tidak menjabat sebagai Gubernur, Gubernur wajib:
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan pemerintahan yang diatur dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah;
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran;
d. memberikan laporan penyelenggaraan kewenangan istimewa kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama setiap tahun; dan
e. memberikan tembusan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan laporan keuangan pemerintah daerah sesuai peraturan perundang-undangan kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama.

Bagian Keempat
DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Pasal 15

1) DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kedudukan, susunan, tugas, serta wewenang sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

2) Selain mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai tugas dan wewenang bersama-sama dengan Gubernur untuk membentuk Perdais.

3) Pelaksanaan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 16

Dalam melaksanakan keistimewaan, DPRD Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta wajib:
a. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama;
b. melakukan konsultasi dengan Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama untuk urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2);
c. melakukan konsultasi kepada Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dalam penyusunan anggaran.

(gah/asy)


http://www.detiknews.com/read/2010/12/16/163603/1526620/10/sri-sultan-bisa-merangkap-sebagai-gubernur-utama-dan-gubernur?n991101605

Monday, December 13, 2010

Inilah Isi Puisi Walikota Yogyakarta, 'Jangan Lukai Merah Putih'

Prihatin dengan polemik seputar RUU Keistimewaan DIY, Walikota Yogyakarta, Herry Zudianto, menurunkan bendera Merah Putih di halaman rumahnya menjadi setengah tiang. Dia juga membacakan puisi buatannya sendiri yang diberi judul 'Jangan Lukai Merah Putih'.

"Keprihatinan saya bahwa polemik RUUK DIY menimbulkan gejala perpecahan bangsa Indonesia yang artinya melukai Merah Putih," kata Herry saat dihubungi detikcom, Minggu (12/12/2010).

Peraih penghargaan Bung Hatta Anticorruption Award 2010 ini menuturkan, apa yang dilakukannya semata-mata sebagai anak bangsa yang ditakdirkan lahir dan menetap di Yogyakarta. Bukan sebagai Walikota Yogyakarta.

Berikut isi puisi 'Jangan Lukai Merah Putih':

Jangan Lukai Merah Putih

65 Tahun Bendera Merah Putih Berkibar di Bumi Indonesia
65 Tahun Semangat Merah Putih Berkibar di Hati Sanubari Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia telah menoreh Sejarahnya,
Sejarah yang ditopang oleh cita-cita,
Sejarah yang ditopang oleh Komitmen,
Sejarah yang ditopang oleh Pengorbanan,
Sejarah yang ditopang oleh Kesepakatan,
Sejarah yang ditopang oleh Kebersamaan dalam Kebhinekaan,

Maknailah Sejarah Merah Putih dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Amanat HB IX/PA VIII 5 September 1945 dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Maknailah Keistimewaan Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih,
Dengarkan Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih
Suarakanlah Aspirasi Yogyakarta dengan Kearifan Hati Merah Putih

Sejarah adalah garis waktu yang hakiki,
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dihapus dengan Perspektif Regulasi
Sejarah tidak bisa semata dimaknai untuk dilupakan dengan Perspektif Politik
Amanat 5 September 1945 adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih
Keistimewaan Yogyakarta adalah Bagian sejarah Berkibarnya Merah Putih

Jangan Lukai Merah Putih...

Salam Jogja, Salam Indonesia... Jaya!

Yogyakarta, 12 Desember 2010

Herry Zudianto

(feb/lrn)


http://www.detiknews.com/read/2010/12/12/212416/1522761/10/inilah-isi-puisi-walikota-yogyakarta--jangan-lukai-merah-putih-

Sunday, December 12, 2010

Kiper Akan Sebar 2.000 Stiker Pro Penetapan di Yogya Nol Km

Komite Independen Pengawal Referendum (Kiper) akan menyebarkan 2.000 stiker berisi dukungan pro penetapan kepala daerah DI Yogyakarta. Stiker akan disebar di Yogya Nol Kilometer pukul 12.00 WIB.

"Ada sekitar 12 orang relawan yang akan menyebar stiker tersebut," kata Koordinator Kiper, Inung Nurzani, kepada detikcom, Senin (13/12/2010).

Semua stiker itu terbagi dalam 3 desain. Desain pertama tentang Maklumat 5 September yang berisi amanat dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX waktu itu. Desain kedua berisi tulisan 'Masyarakat Yogya Siap Referendum' dan desain ketiga bergambar prajurit Keraton bertuliskan 'Relawan Referendum'.

Pembagian stiker tersebut merupakan salah satu agenda yang akan dilakukan Kiper sebelum mengikuti rapat paripurna yang akan diadakan DPRD DIY Senin (13/12) pukul 13.00 WIB. Rapat tersebut akan mendengarkan pandangan dan sikap fraksi yang nantinya akan menjadi keputusan DPRD terhadap RUU Keistimewaan DIY.

Ketika ditanya bagaimana bila pemerintah tetap melaksanakan pemilihan? Indra menjawab, "Silakan kalau pemerintah memutuskan melakukan pemilihan. Rakyat Yogya akan bahu-membahu, bertekad tetap mengharapkan penetapan," imbuhnya.

Inung juga mendapat laporan bahwa beberapa warga yang menjabat sebagai ketua RT, RW maupun lurah akan mengundurkan diri. Langkah itu akan diambil bila jabatan gubernur dan wakil gubernur Yogyakarta dipilih melalui Pemilukada.

"Saya mendapat laporan dari para relawan Kiper. Beberapa ketua RT, RW dan lurah di berbagai daerah Yogyakarta akan mengundurkan diri jika tidak dilakukan penetapan," tutupnya.

(feb/fay)

http://www.detiknews.com/read/2010/12/13/095119/1522943/10/kiper-akan-sebar-2000-stiker-pro-penetapan-di-yogya-nol-km?n991101605

Sultan DIY Otomatis Gubernur, Tapi Tidak Boleh Berpolitik

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie menyatakan dukungannya bila Sri Sultan dan Paku Alam ditetapkan menjadi Gubernur DIY secara otomatis. Sultan dan Paku Alam berdampingan memimpin DIY yang diangkat langsung oleh presiden.

Namun mantan Watimpres ini juga memberi catatan kecil kepada Raja dan Patih Yogyakarta Hadiningrat itu, agar tidak terlibat politik.

"Kalau saya disuruh milih, biarkan saja, tidak ada ada perubahan. Sultan dan Paku Alam otomatis ditetapkan jadi gubernur dan wakil, namun ini harus ditegaskan dalam UU agar Sultan tidak boleh berpolitik," ujar Jimly usai menghadiri peluncuran buku 'Statistik Penegakan Hukum 2007-2008' di Hotel Mulia, Jl Asia Afrika, Senayan, Jakarta, Rabu (1/12/2010).

Menurut Jimly, posisi seorang Sultan sangat rentan terhadap konflik kepentingan bila terjun ke dunia politik. Selain itu, hal tersebut juga tidak etis karena atasan gubernur adalah presiden langsung.

"Itu berpotensi menimbulkan masalah politik, lagi pula masa gubernur bersikap oposisi kepada presiden," terangnya.

Jimly meminta agar pemerintah dan DPR segera merampungkan RUU Keistimewaan DIY agar tidak menimbulkan gejolak di masyarakat, khususnya di Yogyakarta. Guru besar hukum UI ini juga meminta kepada warga Yogya untuk tidak melakukan referendum seperti yang diserukan selama ini.

"Itu hanya menimbulkan masalah baru, tapi sebetulnya tidak masalah kalau masyarakat mau referendum, tapi kita tidak punya aturan tentang referendum. Sebaiknya lupakanlah ide referendum itu, selesaikan saja persoalan RUU Keistimewaan DIY," imbuh anggota Dewan Gelar Pahlawan. (her/nrl)

http://www.detiknews.com/read/2010/12/01/134840/1506742/10/jimly-sultan-diy-otomatis-gubernur-tapi-tidak-boleh-berpolitik?nd992203605

Khalifah Wanita di Indonesia

Raja wanita ?. Itu biasa, ada Ratu Elizabeth II di tahta kerajaan Inggris, dan beberapa ratu di beberapa negara lainnya yang juga berbentuk monarki.

Presiden wanita ?. Itu juga biasa, ada Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden di Republik Indonesia, dan beberapa beberapa negara lainnya yang juga pernah mempunyai Presiden wanita.

Hanya dalam soal Presiden Wanita ini, barangkali sebagai catatan pengecualiannya justru adalah negara yang dianggap sebagai mbahnya demokrasi, yaitu United States of America atau Amerika Serikat, yang malahan belum pernah mempunyai Presiden wanita.

Khalifah wanita ?. Ini yang tidak biasa. Dan, tidak hanya soal tidak biasa saja, namun juga belum pernah ada.

Hal yang tidak biasa ini kemungkinan akan berubah biasa dan jga akan merubah yang tadinya belum pernah ada menjadi pernah ada.

Jika ini kesampaian terjadi, maka ini akan menjadi catatan sejarah baru yang sangat mensejarah.

Catatan sejarah baru itu akan ditorehkan oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Jika merujuk dari keinginan permaisuri di Kasultanan tersebut, yaitu GKR Hemas, yang kemudian keinginannya itu telah mendapatkan pengkukuhan dari suaminya yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, maka di masa depan untuk pewaris tahta atas kerajaan itu akan diberikan kepada putri tertuanya yaitu Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.

Jadilah di masa nantinya, GKR Pembayun itu akan bergelar ‘Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’.

Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta itu didalam gelarnya disebutkan sebagai ‘Senapati ing Ngalaga’, dimana gelar itu secara terjemahan bebasnya berarti sang pemegang gelar tersebut adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan.

Sedangkan gelar ‘Sayidin Panatagama’ itu secara terjemahan bebasnya berarti sang pemegang gelar tersebut adalah pemimpin dalam menata urusan agama.

Lalu didalam gelar ‘Khalifatullah‘ berarti bermakna pemegang gelar tersebut adalah Khalifahnya Allah SWT.

Sebagaimana diketahui, semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro sampai dengan saat ini, baik di Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta maupun di Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, belum pernah ada pemegang tahta kerajaan dari kalangan kaum wanita.

Didalam sejarah suksesi tahta kasultanan Yogyakarta sendiri pernah ada pewaris tahtanya bukanlah anaknya, akan tetapi adalah saudara laki-lakinya. Hal itu setidaknya dapat dilihat dalam sejarahnya tahta Sri Sultan Hamengku Buwono V dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.

Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang sewaktu mudanya bernama GRM Mustojo adalah adik laki-laki dari Sri Sultan Hamengku Buwono V yang sewaktu mudanya bernama GRM Ghatot Menol.

GRM Ghatot Menol dan GRM Mustojo adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari salah satu garwanya yaitu GKR Kencono.

Memang di era sebelumnya, yaitu Majapahit yang merupakan kerajaaan Hindu Budha itu pernah ada pada suatu masa dimana yang duduk di singgasana tahta kerajaannya adalah seorang perempuan atau seorang ratu.

Sebagaimana diketahui pula, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tidak mempunyai anak laki-laki itu sedang berjuang dalam mempertahankan kelangsungan keistimewaan bagi Sultan di kerajaannya untuk tetap secara otomatis ditetapkan menjabat sebagai Gubernur di propinsinya.

Belum lama ini berkait denga hal itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X melontarkan ‘tantangan’ kepada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden SBY, untuk mengadakan ‘referendum’.

Referendum itu terkait dengan keinginan pemerintah pusat yang tak lagi ingin meneruskan keberlangsungan keistimewaan bagi Sultan di kerajaan itu, sehingga Sultan tak lagi secara otomatis ditetapkan menjabat sebagai Gubernur di propinsinya tersebut.

Hal itu tentu terkait dengan nasib tahta kasultanan yang akan diwariskannya kepada anak perempuannya, yaitu GKR Pembayun. Dalam arti, jika keberlangsungan keistimewaan itu tak lagi ada, maka GKR Pembayun meskipun berhasil menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono XI, namun tak otomatis menjabat sebagai gubernur.

Terkait dengan GKR Pembayun yang digadang-gadang oleh ayahanda dan ibundanya untuk menjadi pewaris tahtanya itu, akankah gelar ‘Sayidin Panatagama’ dan gelar ‘Khalifatullah ‘ itu kemudian akan ditanggalkannya, sehingga GKR Pembayun hanya akan bergelar ‘Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’ saja ?.

Ataukah, GKR Pembayun sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI akan mencatat sejarah baru sebagai ‘Sayidin panatagama dan khalifah wanita’ yang pertama kali dalam sejarah ?.

Wallahualambishshawab.

RUU DIY Juga Harus Tetapkan Tradisi Pemilihan Sultan

Bagaimana pun perlu ada payung hukum jelas atas posisi Gubernur DIY terkait tradisi Kraton memilih Sultan. Demi antisipasi kemungkinan di masa mendatang, maka payung hukum tersebut harus kuat dan lengkap.

"Paling tidak ada 3 hal yang harus ditetapkan dalam RUU DIY agar itu tidak terus diubah-ubah oleh politisi," kata GBPH Prabukusumo, adik Sultan Hamengkubuwono X, melalui telepon, Selasa (30/11/2010).

Lebih lanjut pria yang menjabat Ketua DPD PD DIY ini menjabarkan tiga aturan yang perlu ditetapkan sebagai antisipasi segala kemungkinan di masa mendatang. Yaitu aturan mengenai;

1. Sultan otomatis menjadi Gubernur DIY.

Bila akhirnya Sultan otomatis menjabat Gubernur DIY seperti selama ini, perlu ada titik temu antara tradisi yang berlangsung di Kraton dengan kualifikasi yang pemerintah tetapkan bagi calon Kepada Daerah. Seperti syarat pendikan, batas usia minimal dan maksimal, kesehatan jasmani dan rohani serta tidak terlibat pidana.

"Maka dengan demikian Sultan punya kewajiban mendidik anak-anaknya dengan baik agar mereka mampu dan layak memimpin Yogyakarta kelak," sambung Prabu.

2. Sultan tidak mau menjadi Gubernur DIY.

Tidak tertutup kemungkinan kelak ada Sultan yang menolak untuk juga memimpin pemeritahan DIY. Bisa karena alasan usia sudah lanjut atau kondisi kesehatannya yang tidak memungkinkannya secara efektif jalan pemerintahan daerah.

Menurut tradisi Kraton, bila Sultan berhalangan akan diwakili oleh kerabat kandungnya dari keturunan pertama ayahnya yang tentunya tetap harus memenuhi kualifikasi untuk menjadi Kepala Daerah. Bila tetap tidak ada, maka akan diserahkan jabatan Gubernur itu kepada Paku Alaman.

"Tapi tetap Kraton yang menentukan siapa penggantinya. Tinggal nanti dari Kemendragri melakukan verifikasi tidak tercelanya calon yang bersangkutan," sambungnya.

3. Sultan tidak bisa menjadi Gubernur DIY.

Sebagai manusia biasa, sudah tentu Sultan punya keterbatasan baik fisik dan psikis. Maka sudah pasti perlu ada periodesasi sebagai gubernur untuk menjaga kelangsungan pemerintahan daerah tetap berjalan.

Bahkan bisa saja Sultan terkena masalah perdata atau pidana sehingga tidak bisa lagi menjadi Gubernur, sebagaimana diatur dalam UU mengenai Pemerintahan Daerah. Namun lengser sebagai Gubernur tidak otomatis berpengaruh terhadap posisi sebagai Sultan yang bisa disandang sepanjang usianya sebab merupakan gelar budaya.

"Misalnya kelak ada Sultan yang belum cukup usianya untuk menjabat sebagai Gubernur. Menurut tradisi Kraton, maka akan dipilih siapa dari keturunan pertama yang ditetapkan untuk mewakilinya hingga dia cukup umur," sambung Prabu.

Menurutnya semua kemungkinan tersebut sudah ada contoh kasusnya dalam sejarah Kraton. Termasuk prosedur yang Kraton tempuh mengatasi semua kasus tersebut sesuai dengan tradisi berlaku.

"Tapi itu perlu ditetapkan dalam payung hukum yang jelas dan tegas, sehingga pemilihan Sultan dan penggantinya tidak disalahpahmi atau disalahgunakan pihak tertentu," tegas Prabu.
(lh/rdf)

http://www.detiknews.com/read/2010/11/30/204714/1506182/10/ruu-diy-juga-harus-tetapkan-tradisi-pemilihan-sultan

Sekar Kedaton Menyongsong Tahta

Yogyakarta, 4 Juni 2002 00:07
SEBATANG rokok lintingan diisapnya dalam-dalam. Warna kulit wajahnya tampak makin legam setelah seharian terpanggang terik matahari. Impitan ribuan orang yang menyemut di seputar Alun-alun Yogyakarta pun tak dihiraukan. Penantian panjangnya berbuah hasil, kala jarum jam hampir menunjukkan pukul empat sore. Air muka Suratmo, 60 tahun, pria yang tak peduli dengan kelelahan itu, mendadak sontak berbinar tatkala kereta berjuluk Kanjeng Kyai Jong Wiyata menuju ke arahnya, Selasa pekan lalu.

Sejenak, Mbah Atmo --demikian ia biasa disebut-- terpaku ketika ribuan tangan melambai-lambai. Pandangannya tak mau beranjak dari kereta dan penumpangnya, pasangan pengantin agung Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro, yang terus mendekat. Ketika yang dinanti melintas tepat di depannya, laki-laki yang datang dari Godean, delapan kilometer arah barat Yogyakarta, itu langsung menjulurkan lengannya yang kurus.

Hup...! Ia berhasil menyentuh badan kereta. Sejenak saja. Sejurus kemudian, badan kerempeng Mbah Atmo terlempar, didorong petugas keamanan. Meski begitu, ia sudah merasa cukup bahagia."Kulo namung bade mangertos putri Ngarsa Dalem ingkang mbarep, sasarengan nyuwun berkah (Saya hanya ingin mengetahui putri Sri Sultan yang paling besar, sambil meminta berkah)," katanya.

Bagi wong cilik seperti Mbah Atmo, dan juga kebanyakan rakyat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kemunculan Pembayun memang sangat dinanti. Maklumlah, ia bukan semata putri keraton. Lebih dari itu. Sudah lama beredar kabar, sulung dari lima putri Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Ratu Hemas ini dipersiapkan sebagai pewaris tahta kerajaan. Dari gelar GKR yang ditabalkan menjelang pernikahan pun, banyak yang menerjemahkannya sebagai pertanda bahwa dia bakal jadi orang nomor satu di keraton.

Dari lingkungan keraton sendiri, sebetulnya kabar suksesi yang mengarah ke Pembayun belum terang betul. Sri Sultan HB X, misalnya, lebih banyak menghindar jika disentil soal tema yang satu ini. Ketika dicegat Gatra usai main golf di Merapi Golf, Desa Kepuh Harjo, Cangringan, Sleman, Kamis sore pekan lalu, misalnya, Sultan justru minta didoakan agar panjang umur. "Suksesi belum dipikirkan. Udah ya, matur nuwun," katanya, seraya masuk ke mobilnya, Mercedes New Eyes.

Kalaupun pertanda itu sedikit lebih jelas, terkuak dari permaisuri Sultan, Ratu Hemas. Ia menyiratkan bahwa putrinya sudah siap jika kelak ditakdirkan menggantikan ayahnya. "Memang harapan kita, perempuan itu diberi kesempatan memimpin," kata Hemas. Baginya, pada masa mendatang, segala sesuatu bisa saja berubah, termasuk kalau perempuan harus memimpin kesultanan. Ini mengingat Sri Sultan HB X tak dikaruniai anak laki-laki.


Di mata Tatik Deradjat --nama lahir Ratu Hemas-- putri sulungnya itu punya kemampuan memimpin. Pembayun, katanya, tergolong anak yang cerdas. Sikap dan perilakunya pun seperti Ngarsa Dalem --panggilan kepada Sri Sultan-- yang lebih banyak diam dan sangat dekat dengan rakyat. "Bagi saya, tak jadi masalah lagi untuk mempersiapkannya (jadi penerus tahta --Red.)," katanya (lihat wawancara dengan Ratu Hemas: Pembayun Harus Mampu).

Bakal muluskah Pembayun menuju singgasana? Tentu tak mudah jika langsung menjawab: "ya!" Toh, selain Pembayun, masih ada pewaris tahta lain yang juga punya hak. Ia adalah adik kandung Sri Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Hadiwinoto. Tak tertutup kemungkinan, perkara kursi kerajaan ini bisa menimbulkan gesekan. Walaupun, sesuai dengan adat Jawa yang tak suka membuka konflik, potensi ini masih terlihat adem-ayem saja.

Hadiwinoto, misalnya, memilih bungkam ketika ditanya masalah ini. "Saya tidak berwenang ngomong masalah ini," kata dia. Ucapan Hadiwinoto pun diamini adiknya, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo.

Namun, bukan berarti tak ada suara sumbang. Beberapa kerabat sangat dekat dengan Sultan yang tak mau disebut namanya malah terang-terangan menentang. Menurut mereka, yang berhak atas tahta kelak adalah Hadiwinoto. Hal ini sesuai dengan konvensi Kerajaan Mataram Islam. "Kalau nanti jatuh ke tangan GKR Pembayun, terus gelarnya apa? Tidak ada dalam kamus keraton," kata seorang di antara mereka.

Kerabat keraton lainnya menimpali. Hanya anak laki-laki yang berhak atas kursi Kesultanan Yogyakarta. "Di luar itu sudah tidak masuk dalam buku keraton," katanya. Apalagi kalau sampai ada pikiran kelak mendudukkan anak laki-laki Pembayun sebagai raja. "Seorang cucu lebih-lebih tak diatur dalam konvensi," ujarnya. Walau tak setuju, mereka tetap tak berani mengungkapkannya secara terbuka. "Sangat sensitif. Tunggu saja nanti pada waktunya," katanya.

Memang, kalau Pembayun menjadi ratu, bisa jadi bakal meruntuhkan tradisi yang selama ini hidup 253 tahun di Kesultanan Yogyakarta. Sejak Mangkubumi menobatkan diri sebagai raja pertama pada 1749, Keraton Yogyakarta selalu dipimpin oleh raja.

Menurut Prof. Dr. Djoko Suryo, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pakem lama memang menyebutkan bahwa raja di Jawa selalu berasal dari gender laki-laki. Ketentuan itu tersurat dalam konvensi tradisional Kerajaan Mataram: "Yang berhak menggantikan tahta adalah putra mahkota yang telah diangkat resmi, yakni putra laki-laki tertua dari garwa padmi atau permaisuri."

Kalaupun kini seorang putri dipersiapkan menjadi ratu, kata Djoko, itu sepenuhnya tergantung titah Sri Sultan. Tentunya setelah berembuk dan bersepakat dengan keluarga inti keraton. Permasalah muncul, tutur Djoko, tatkala ratu mesti mengemban sayidin panatagama atau imam, salah satu peran yang selama ini melekat pada Sultan Keraton Yogyakarta. "Kalau dalam pakemnya, kan dilarang seorang wanita jadi imam," katanya.

Di samping itu, masih menurut Djoko, suksesi di Keraton Yogyakarta juga punya rambu yang tertera dalam Serat Puji, ditulis pada masa Sultan HB V, tahun 1846-1850. Serat yang bersandar pada ajaran Islam itu, kata Djoko, memuat 10 syarat untuk menjadi raja. Di antaranya, harus alim dan bertakwa. Nah, pada syarat buncit tertera: "Kalau bisa, jangan perempuan." "Tapi, ya, kalau bisa," kata Djoko, berseloroh.

Ketentuan ini, menurut Djoko, erat kaitannya dengan peran sayidin panatagama seorang sultan. "Kalau seorang putri, nantinya sulit menjalankan fungsi keagamaan," ujarnya. Selain itu, ada juga 25 dalil dalam Serat Tajusalatin dari riwayat Imam Buchari Muslim, yang mengajarkan sejumlah syarat menjadi raja yang baik. Salah satunya juga mesti laki-laki.

Meski begitu, Djoko tetap memandang bahwa rambu-rambu itu bukanlah harga mati. Jika sultan tak memiliki anak laki-laki, tentu akan terjadi pergeseran tentang siapa yang bakal meneruskan tahta. Apakah adik laki-laki sultan atau putri tertua raja? Semua keputusan terpulang kepada sultan yang punya kekuasaan tertinggi. "Raja memang otoriter. Tapi, di sini juga tetap ada konsensus dengan pihak keluarga," kata Djoko.

Walau tak hendak mendahului keputusan Sultan, Djoko melihat, Sekar Kedaton --panggilan Putri Pembayun yang berarti bunga keraton-- memang punya kemungkinan jadi "raja". Menurut dia, di masa datang, raja hanyalah jabatan kultural, dan tak punya kekuatan politis alias tak punya kekuasaan lagi. "Kalau hanya sebuah simbol, kenapa seorang putri tak bisa?" kata guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Bagi Djoko, dari segi kapasitas pun, Pembayun sanggup menjalankan fungsi seorang raja. Kalaupun ada keterbatasan dalam menjalankan peran sebagai imam, Djoko menyarankan, bisa diatasi dengan mengangkat seorang patih. Itu pun tak mutlak. Toh, Djoko mempertanyakan, apakah zaman sekarang fungsi keagamaan menjadi penting sekali bagi raja? "Entah bagaimana caranya, terserah Sulatn HB X," katanya.

Djoko juga tak khawatir peran Kasultanan Yogyakarta bakal berkurang dalam kancah politik nasional. Jika memang berniat mendudukkan Pembayun di kursi singgasana, tentu sejak sekarang Sri Sultan sudah harus mempersiapkannya. "Supaya Pembayun memiliki kapasitas, jiwa leadership, dan berwawasan luas. Paling tidak, menyamai peran yang telah dilakoni kakeknya, HB IX, dan ayahnya, HB X," kata Djoko.

Rupanya, harapan Djoko ini sudah disadari pihak keraton. Semenjak Sri Sultan menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1998, Jeng Sari --demikian panggilan Pembayun-- diminta menetap di Yogyakarta. "Mungkin Sri Sultan mau memiliki penggalih (perasaan) yang banyak untuk tugas-tugas dan kegiatan Sari. Jadi, bimbingan awalnya adalah anak saya tak boleh keluar dari Yogyakarta," kata Ratu Hemas.

Sejak itu pula, Jeng Sari sudah mengurus beberapa usaha Ngarsa Dalem, termasuk jadi komisaris utama di pabrik gula Madukismo dan anggota Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat Mataram. Di luar tembok istana, perempuan kelahiran 24 Februari 1973 ini masih punya seabrek kegiatan. Di antaranya menjadi Ketua Yayasan Anak Mandiri, yang menghimpun sejumlah dana untuk beasiswa bagi siswa dan mahasiswa cerdas yang kurang mampu.

Gusti Raden Ajeng Nurmalitasari --demikian nama lahir Pembayun-- juga punya usaha pemintalan benang sutra liar lewat PT Yarsilk Gora Mahottama yang dipimpinnya. Dari kegiatan persutraan ini, nama Pembayun dikenal dunia luar. Pada penghujung April lalu, di Yogyakarta, misalnya, ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Konferensi Internasional ke-4 dan Pameran Sutra Liar, yang melibatkan peserta dari sembilan negara.

Suatu tugas yang tak begitu sulit bagi Pembayun. Pergaulan dengan negeri asing memang sudah lama dilakoninya. Ketika baru duduk di bangku kelas II SMA, ia sudah terbang ke Australia untuk melanjutkan sekolah di sana. Kemudian Pembayun melanjutkan pendidikan di University of Griffith Australia, dan membawa pulang ijazah sarjana bisnis retail pada 1998.

Pengembaraannya yang panjang di "negeri kanguru" itu membuat pembawaan Pembayun sedikit berbeda dari gambaran putri keraton selama ini yang "tertutup". Tampilannya funky dan gaul. Masuk ke diskotek bukanlah pantangan. Namun, bukan berarti kepribadian Jawanya lantas luluh. Ia tetap wanita yang santun.

Di kalangan keraton, Jeng Sari juga dikenal sebagai penari Jawa klasik yang jempolan. Keterampilan ini ia pupuk sejak usia tujuh tahun dengan berlatih kepada Ibu Tiah, istri empu penari klasik R.W. Sasminto Mardawa. Sepulang ke Tanah Air, ia memperdalam tarian yang bernilai sakral, yaitu tari bedaya. Kini, ia termasuk penari andalan untuk membawakan tari Bedaya Sang Amurwabumi, ciptaan ayahnya.

Ada peristiwa yang tak bisa pupus dari ingatannya, yakni ketika Pembayun unjuk kebolehan menari di hadapan kakeknya, HB IX, di Jepang pada 1988. Ketika itu, HB IX sedang dalam perjalanan ke Amerika Serikat untuk berobat. Namun, beberapa hari kemudian, mantan wakil presiden ini wafat.

[Hidayat Gunadi, Joko Syahban, Sujoko, Sawariyanto, dan Kristiyanto (Yogyakarta)]
[Laporan Utama, GATRA Nomor 29 Beredar 3 Juni 2002]

http://www.gatra.com/2002-06-04/artikel.php?id=18019

Hamengku Buwono XI: Raja atau Ratu?

Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menerima kehadiran tiga mahasiswa administrasi negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Jamuan berlangsung di Gedhong Wilis, Kepatihan, kantor Sultan di kompleks perkantoran Provinsi DIY, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu awal bulan lalu.

Satu di antara mahasiswa itu adalah Yusuf Akhmad. Dia punya kepentingan ilmiah, mewawancarai Sultan sebagai narasumber bagi skripsinya yang berjudul "Peran Sri Sultan HB X dalam Pengarusutamaan Gender". Wawancara itu berlangsung sekitar satu jam dalam suasana akrab, ditemani cemilan bolu, timus, dan kacang goreng serta teh hangat.

Sultan, sambil mengisap rokok, menjawab pertanyaan dengan lancar dan tegas. "Setiap sultan berhak melakukan perubahan," begitu jawaban diplomatisnya atas pertanyaan penting seputar tradisi keraton. Lantas Sultan menyebutkan beberapa contoh perubahan dalam keraton. Mulai soal tari dan upacara, penataan organisasi, hingga penempatan kerabat perempuan dalam institusi keraton.

Namun, ia menambahkan, perubahan tradisi itu tidak bisa meninggalkan fondasi filosofi keraton, terutama berkaitan dengan aspek spiritualitas. "Pejabat keraton tidak hanya laki-laki. Anak-anak saya (yang semuanya perempuan --Red.) juga menjabat di keraton. Saya juga bisa ngepel, apalagi cuma beres-beres tempat tidur," ujar Sri Sultan HB X sembari tersenyum.

Intinya, isu patriarki dalam Keraton Yogyakarta, menurut Sultan, adalah masa lalu. Jauh ketika wacana kesetaraan gender belum muncul. Jadi, tidak masalah perempuan jadi raja di Keraton Yogyakarta? Yusuf akhirnya melontarkan juga pertanyaan itu.

"Ya, tidak ada masalah. Tapi itu tergantung masyarakat mau mengubah tradisi atau tidak. Masyarakat sendiri dong yang harus menilai. Jangan saya," papar Sultan, sebagaimana diceritakan kembali oleh Yusuf kepada Gatra.

Sultan mewanti-wanti bahwa "terobosan administrasi" keraton semacam itu sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Juga keterbukaan pihak keraton dalam menyikapi isu suksesi. "Saudara saya laki-laki ada. Anak saya perempuan ada. Terserah masyarakat," katanya, lugas.

Sepekan setelah wawancara itu, tepatnya Rabu 12 Mei, materi pembicaraan Sultan dengan tiga mahasiswa Fisipol UGM itu dipublikasikan dalam website Pemerintah Provinsi DIY dengan tajuk "Gender dalam Pandangan Sultan". Seperti bensin menyambar api, materi itu jadi berita hangat. Sejumlah koran lokal menjadikannya sebagai headline dengan memuat juga pendapat beberapa pejabat keraton.

Di kalangan jurnalis kepatihan dan keraton, sebetulnya wacana itu sudah beredar sebelum publikasi via website tadi. Namun mereka tak berani "menurunkannya" sebagai berita. "Soalnya sensitif," kata seorang jurnalis harian di Yogyakarta.

Istri Sultan, GKR Hemas, mengemukakan bahwa pernyataan Sultan soal suksesi raja perempuan itu merupakan bentuk keikutsertaan keraton pada perkembangan di masyarakat. Menurut Hemas, untuk mengetahui respons masyarakat, tidak harus melalui polling, referendum, atau pisowanan. Karena keputusan akhir tetap ada pada Sultan. "Beliau sendiri (yang memutuskan), bukan siapa-siapa," katanya.

Hemas juga menyebutkan bahwa wacana itu sudah dibahas secara internal di keluarga keraton. Respons kerabat pun baik. "Nggak masalah. Saya kira sudah (dibahas). Bukan hanya dengan adik-adik Sultan (yang laki-laki), tapi kerabat yang lain. Kerabat kan tidak hanya adik-adiknya," paparnya.

Sebagai catatan, Sri Sultan HB X dan permaisurinya, GKR Hemas, tidak memiliki anak laki-laki. Lima anak perempuan. Mereka adalah GRA Nurmalita Sari (putri sulung, bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun), GRA Nurmagupita, GRA Nurkamnari Dewi, GRA Nurabra Juwita, dan GRA Nurastuti Vijareni.

Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menolak mengomentari pusaran wacana yang mengarah kepada dirinya sebagai putri tertua Sri Sultan HB X itu. "Saya ngurusi pasar tradisional saja, ha, ha, ha...," kata Pembayun, yang kini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DIY, sambil tersenyum lepas.

Salah satu adik Sultan, GPBH Yudhaningrat, meyakini pernyataan Sultan itu sebagai ucapan pribadi. "Sultan telanjur omong," katanya dengan nada pasrah, menyesalkan. "Jangankan pembahasan (di keluarga keraton), pemikiran (seperti itu) pun tidak ada sebelumnya. Secara pribadi tidak apa-apa. Tapi, dalam kapasitas sebagai sultan, pernyataan itu kurang pantas."

Yudhaningrat menyatakan bahwa Keraton Yogyakarta termasuk dinasti kekhalifahan yang memosisikan sultan sebagai penerus Nabi dalam pemahaman agama Islam. Sri Sultan HB X sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping X (yang kurang lebih berarti: pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, tuan semua orang yang percaya).

"Jelas, selama ini tidak ada Sultan Yogyakarta yang perempuan," kata Yudhaningrat. Ia mengaku tak keberatan kalau seorang putri menjadi ketua adat atau ketua budaya seperti terjadi di Mangkunegaran. Tapi, "Bukan sebagai kanjeng gusti," ujar Yudhaningrat, yang meyakini bahwa Keraton Yogyakarta menganut paham patriarki.

Berbeda dari raja perempuan Aceh, yang menurut dia bagian dari kerajaan Sumatera yang mengikuti garis perempuan (mamak) dalam paham matriarki. Ia juga mewanti-wanti bahwa selama ini sudah ada pedoman yang jelas, yakni paugeran (peraturan perundangan) keraton, yang menunjukkan tak ada sultan perempuan. "Kalau mau rusak-rusakan, silakan saja dicoba," katanya.

Menurut Yudhaningrat, jika prameswari tidak punya putra, maka dalam suksesi, yang berhak menjadi raja adalah "adiknya yang kakung". Dalam hal ini, ia menyebut nama Hadiwinoto sebagai kakak lelaki tertua. "Terserah dia siap dicalonkan atau tidak. Kalau tidak bersedia, giliran selanjutnya Hadisurya," tuturnya.

Yudhaningrat sendiri menampik bahwa ketidaksetujuannya atas wacana sultan perempuan itu sebagai bentuk keinginannya jadi raja. "Wah, urutan saya jauh," ujarnya, sembari menyebutkan bahwa dirinya berada di urutan 15-17 dari 22 putra Sultan HB IX.

Untuk diketahui, Sri Sultan HB X adalah putra dari garwa pawean atau istri kedua. Sebab Sultan HB IX tidak memiliki putra dari garwa padmi atau istri pertama. Dan tentang adik yang menggantikan kakaknya pernah terjadi ketika HB VI naik tahta pada 5 Juli 1855 menggantikan kakaknya, HB V.

Ahli hukum keraton, guru besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Sudikno, menyatakan bahwa dalam sejarah Keraton Yogyakarta belum ada sultan yang perempuan, sebab tidak tercantum dalam paugeran. Namun, menurut dia, paugeran bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ditentukan secara internal keraton.

"Mungkin saja sultan perempuan, boleh saja, asal berada dalam lembaga yang telah ditentukan sebagai hasil musyawarah keraton," kata profesor senior yang sering dilibatkan dalam soal tata aturan keraton itu.

Sementara itu, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bambang Purwoko, menilai masalah suksesi itu sebagai kewenangan Sultan dan pihak keraton. "Tidak ada urgensi membawa wacana ini ke masyarakat," kata pria yang rajin membantah jika dirinya disebut-sebut sebagai penasihat bahkan, kabarnya, penulis pidato Sri Sultan HB X itu.

Wacana suksesi sultan perempuan itu pun, menurut Bambang, tidak perlu dikaitkan dengan isu kesetaraan gender. Ia mengilustrasikan, ketika Elizabeth I bertahta di Inggris pada abad XVI, posisi perempuan dalam masyarakat Inggris ketika itu juga sangat tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Juga ketika Ratu Shima yang bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara bertahta di Kerajaan Kalingga pada abad VII, rakyat Jawa tentu masih sangat buta atas gagasan kesetaraan gender. "Toh, bisa saja seorang perempuan menjadi raja," ujarnya.

Karenanya, kata Bambang, jika semua pihak di Keraton Yogyakarta menganggap paugeran yang masih berlaku pada saat ini layak dipertahankan, sudah jelas siapa yang akan menjadi raja berikutnya. Tidak perlu repot-repot menggagas jenis kelamin raja berikutnya. Namun, kalau keraton menghendaki tampilnya raja perempuan, yang harus dilakukan hanyalah mengubah paugeran yang ada.

"Undang-undang dasar negara saja bisa diamandemen, tentulah paugeran juga bisa dengan mudah diubah. Hanya kitab suci agama yang seharusnya tidak boleh diubah-ubah," kata Bambang lagi.

Meski begitu, Bambang mengaku tidak bisa memungkiri bahwa pernyataan Sultan tentang raja perempuan itu mencerminkan keinginannya digantikan putrinya. "Bisa dibaca masyarakat seperti itu. Sikap (pernyataan Sultan) itu sebagai fungsi kepentingan," katanya.

Bambang Sulistiyo, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Nasional, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 17 Juni 2010]

http://www.gatra.com/artikel.php?id=138926

Suksesi Gubernur di Monarki Jogja

“ …Pemilihan langsung adalah amanat konstitusi. Belum lagi, dalam sistem demokrasi pemilihan, ditekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapat kesempatan untuk menjabat sebagai pejabat publik tertentu… Ya ini konstitusi kita kan menentukan seperti itu. Kita tidak melakukan itu di luar konstitusi… ”, kata Akbar Tanjung yang Ketua Dewan Pembina Partai Golkar.

Terkait hal itu dengan soal keistimewaan DIY, ia mengusulkan jalan tengahnya yaitu Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam bisa tetap menjadi Kepala Daerah, namun untuk Kepala Pemerintahan sebaiknya dipilih langsung oleh rakyat lewat Pilkada.

“ …Tentu tinggal diatur nanti bagaimana pengaturan kepala daerah yang notabene Sultan itu dengan tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Tentu sebagai pelaksana tugas sehari-hari (kepala pemerintahan) itu mendapat arahan dari pemerintah pusat, daerah atau Sultan”, tambah Akbar Tandjung, sebagaimana yang dikutip dari Detiknews.Com .

Namun sepertinya soal ‘kesetaraan’ dan ‘persamaan’ bagi setiap warga negara yang merupakan prinsip penting dalam sistem demokrasi pemilihan itu pada akhirnya akan diabaikan.

Lantaran pada saat ini, arus utama opini masyarakat maupun arah gerak politik dikalangan politisi cenderung menghendaki Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam mendapatkan keistimewaan dengan secara otomatis akan ditetapkan menjabat sebagai Kepala Daerah merangkap Kepala Pemerintahan di propinsi DIY.

Sebenarnya, sudah semenjak lebih dari 22 tahun yang lalu soal pengaturan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta yang berkaitan dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur itu tidak lagi berkaitan dengan Kasultanan dan Pakualaman serta status keistimewaan DIY.

Setidaknya hal itu dapat dilihat pada waktu setelah wafatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat pada tanggal 3 Oktober 1988, lalu Sri Paduka Pakualam VIII dilantik menjadi Gubernur propinsi DIY pada tanggal 19 Desember 1988.

Pada saat pelantikannya itu, Rudini yang menjabat sebagai Mendagri dalam pidato yang pada prinsipnya mendeklarasikan bahwa Yogyakarta tetap dipertahankan sebagai daerah istimewa namun Pengaturan Kepala Daerah dan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta tidak dianalogikan dan tidak dikaitkan lagi dengan Kasultanan dan Pakualaman.

Dalam arti kata, hanya khusus untuk Sri Paku Alam VIII saja yang masih mendapatkan perlakuan berbeda dalam hal penunjukannya sebagai gubernur tanpa melalui pemilihan dan tanpa ketentuan masa jabatan.

“Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada masyarakat dan rakyat Yogyakarta yang heroik, di bawah mendiang Sultan HB IX dan Paku Alam VIII”, kata Rudini, sebagaimana yang dikutip dari Tempointeraktif.Com .

Namun sepertinya soal itu juga dilupakan sehingga seolah-olah ketidak keterkaitan antara jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur dengan Kasultanan dan Pakualaman serta status keistimewaan Yogyakarta itu baru akan diberlakukan.

Terlepas dari itu, tampaknya RUUK propinsi DIY akan disusun dengan kembali mengaitkan status keistimewaan Yogyakarta dengan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernurnya.

Dimana pemegang tahta di Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman secara otomatis akan ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur yang tanpa melalui pemilihan dan tanpa batasan masa jabatan.

Berkait dengan itu maka konsekuensi logisnya adalah proses suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur akan terkait erat dengan proses suksesi pemegang tahta di Keraton Kasultanan dan Puro Pakualaman.

Dalam arti kata, suksesi Gubernur dan Wakil Gubernur itu baru akan terjadi jika Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX telah wafat.

Lalu sosok penggantinya pun, tergantung sepenuhnya dari hasil proses suksesi yang terjadi di dalam tembok keraton Kasultanan dan Pakualaman, yang tentunya tanpa memerlukan keterlibatan dan peran serta rakyatnya.

Mengingat proses suksesi jabatan publik (Gubernur dan Wakil Gubernur) itu akan tergantung dari proses suksesi tahta di keraton, maka apakah sistem dan mekanisme suksesi yang akan terjadi di balik tembok keraton itu cukup solid dan akuntabel ?.

Disinilah letak masalahnya. Sebenarnya proses suksesi di dalam tembok keraton itu tidaklah cukup solid dalam sistem dan mekanismenya, jika tidak boleh dikatakan sebagai tidak cukup akuntabel juga.

Keraton Kasultanan sendiri boleh dibilang tidak punya arsip tertulis dari pranatan baku yang mengatur tentang proses suksesi ini.

Setidaknya hal itu tercermin dari bagaimana dahulu dinamika yang terjadi didalam proses suksesi tahta dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Untunglah, musyawarah yang melibatkan sekitar 30 orang kerabat keraton itu mampu menghasilkan kesepakatan yang tidak sampai menimbulkan konflik dan perpecahan.

Hanya perlu dicatat bahwa dalam musayawarah itu tidak semuanya yang hadir itu mempunyai hak bicara maupun hak suara.

Semisal seperti menantu raja itu tidak mempunyai hak bicara maupun juga tidak mempunyai hak suara. Sedangkan saudara-saudara Sultan dan istri-istri Sultan yang masih hidup itu mempunyai hak bicara namun tidak mempunyai hak suara.

Dinamika yang terjadi didalam proses suksesi pada waktu itu terlalu panjang jika diulas dan dibahas pada tulisan kali ini. Oleh sebab itu dipersilahkan untuk membacanya langsung di arsip-arsip berita yang memberikan gambaran tentang bagaimana dinamika yang terjadi dalam proses suksesi pada waktu itu, yang diantaranya dapat dibaca di sini dan sini serta sini .

Berbeda halnya dengan dinamika yang terjadi didalam proses suksesi tahta dari Sri Paku Alam VIII ke Sri Paku Alam IX, yang lebih a lot dan sedikit menimbulkan ketegangan diantara para ahli warisnya.

Sehingga pada waktu itu, mekanisme rekrutmen untuk posisi Gubernur sudah dapat ditetapkan. Sedangkan rekrutmen untuk posisi Wakil Gubernur menjadi terpaksa ditunda dan posisi itu dikosongkan sementara.

Lantaran harus menunggu dulu selesainya musyawarah berkait proses suksesi sehingga secara definitif terpilih sosok yang akan dinobatkan menjadi Sri Paku Alam IX dan selanjutnya akan dilantik sebagai Wakil Gubernur.

Kejadian suksesi yang serupa dengan tersebut diatas jelas akan terulang kembali pada saat Sri Sultan Hamengku Buwono X itu wafat atau Sri Paku Alam IX itu wafat.

Lantaran itu maka saat itu juga harus terjadi proses suksesi yang akan memilih secara definitif sosok yang akan dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono XI dan Sri Paku Alam X.

Lalu, selanjutnya Sri Sultan Hamengku Buwono XI dan Sri Paku Alam X akan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur, menggantikan ayahandanya yang wafat tersebut.

Berkait dengan itu, jika didalam RUUK itu tidak dimasukkan pula aturan-aturan sebagai rambu-rambu pelengkap atas pranatan tidak tertulis yang ada di dalam keraton, maka bukan tak mungkin akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Bukan bermaksud memvonis dan memastikan akan terjadi konflik dan perpecahan didalam proses suksesi tahta yang akan terjadi itu. Tapi, mengabaikan adanya kemungkinan konflik dan perpecahan lantaran tidak adanya aturan baku yang diatur didalam RUUK soal suksesi itu juga bukanlah tindakan yang bijaksana.

Potensi itu tetap ada, setidaknya karena Sri Sultan Hamengku Buwono X ini tidak mempunyai anak lelaki.

Memang, bahwasanya Sri Sultan Hamengku Buwono X dan permasurinya GKR Hemas itu sudah secara tersirat menghendaki putri tertuanya, GKR Pembayun, sebagai calon pewaris tahta dan nantinya akan dinobatkan menjadi calon Sri Sultan Hamengku Buwono XI.

Sepertinya tidak akan ada masalah jika Sri Sultan Hamengku Buwono X kemudian membuat surat wasiat perihal putri tertuanya itu adalah ahli waris atas tahtanya itu.

Mengingat pranatan baku yang tak tertulis itu menyebutkan bahwa jika tak ada anak lelaki maka pewaris tahta di urutan berikutnya adalah saudara laki-lakinya, maka pertanyaannya adalah legowokah para saudara-saudara laki-lakinya Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan hal itu ?.

Sedikitnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X ini mempunyai 5 (lima) orang saudara laki-laki yang mempunyai hak waris yang sama atas tahta dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Dikutip dari berita yang dapat dibaca di sini, mereka itu adalah :

* KBPH Hadikusumo yang merupakan putra dari istri pertamanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu K.R.Ay. Pintokopurnomo.

* GBPH Prabukusumo yang merupakan putra dari istri ketiganya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu KRAy Hastungkoro.

* GBPH Pakuningrat yang merupakan putra dari istri keempatnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu K.R.Ay. Ciptomurti.

* GBPH Hadiwinoto yang merupakan putra dari istri keduanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu KRAy Windyaningrum.

* GBPH Joyokusumo yang merupakan putra dari istri keduanya Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yaitu KRAy Windyaningrum.

Memang sepertinya saat ini tak ada gejolak, tapi ada baiknya jika diantisipasi lebih dahulu dengan diatur didalam RUUK itu agar tak menimbulkan konflik di kemudian hari.

Sebenarnya gesekan dibawah permukaan ada walau seperti nyaris tak tampak lantaran dibungkus kesantunan dan ewuh pekewuh. Hal tersebut setidaknya dapat dilihat dari berita yang dapat dibaca di sini dan sini serta sini .

Ternyata masalah tak cukup hanya sebatas itu, masih ada masalah lain yang perlu diantisipasi, seperti yang diungkapkan oleh GBPH Prabukusumo, sebagaimana beritanya dapat dibaca di sini .

GBPH Prabukusumo yang merupakan adik Sri Sultan Hamengku Buwono X dari lain ibu.

Jika Sri Sultan hamengku Buwono X adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono dari istri keduanya, yaitu KRAy Windyaningrum. Maka GBPH Prabukusumo adalah putra Sri Sultan Hamengku Buwono dari istri ketiganya, yaitu KRAy Hastungkoro.

GBPH Prabukusumo mengemukakan bahwa RUUK itu harus pula mencakup hal-hal yang memberikan payung hukum jelas kuat dan lengkap. atas posisi Gubernur DIY terkait tradisi Kraton memilih Sultan.

Seperti diantaranya mengatur apabila Sultan berhalangan maka siapa yang berhak mewakilinya, bagaimana andai kelak ada Sultan yang dinobatkan itu belum cukup usianya, dan lain sebagainya dengan maksud agar kelangsungan pemerintahan daerah tetap berjalan.

Menurutnya semua kemungkinan tersebut sudah ada contoh kasusnya dalam sejarah Kraton. “Itu perlu ditetapkan dalam payung hukum yang jelas dan tegas, sehingga pemilihan Sultan dan penggantinya tidak disalahpahmi atau disalahgunakan pihak tertentu”, kata GBPH Prabukusumo.

Akhirulkalam, memang RUUK Yogyakarta menjadi harus cukup rumit dan mendetail jika tidak ingin terepotkan dikemudian hari oleh adanya bias penafsiran.

Harus cukup rumit dan mendetail, sebab proses suksesi jabatan publik di propinsi Yogyakarta, Gubernur dan Wakil Gubernur, akan sangat tergantung dari proses suksesi di Keraton Kasultanan dan Pura Pakualaman.

Dan, RUUK itu juga harus memastikan bahwa Keraton Kasultanan dan Pura Pakualaman itu mempunyai aturan tertulis baku perihal sistem dan mekanisme suksesi yang cukup solid dan akuntabel sehingga tidak akan menimbulkan gangguan yang dapat menimbulkan kekosongan di posisi Gubernur dan Wakil Gubernur agar kelangsungan pemerintahan daerah tetap berjalan.

Wallahualambishshawab.

http://birokrasi.kompasiana.com/2010/12/01/suksesi-gubernur-di-monarki-jogja/

Pendapat SBY Soal 'Monarki' Yogyakarta Keliru

Kritikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait statemen 'Monarki' Yogyakarta terus mengalir. Kali ini kritikan datang dari mantan Ketua PBNU KH Hasyim Muzadi.

"Pendapat SBY bahwa kesultanan Yogyakarta adalah monarki memang keliru. Bukan hanya faktor historis dan jasa kesultanan Yogyakarta kepada RI tapi fakta yang ada bahwa sultan memerintah DIY bersama DPRD yang dipilih langsung rakyat dan bersama-sama bertanggungjawab ke pemerintahan pusat. dimana monarkinya?" kata Hasyim kepada detikcom, Rabu (1/12/2010) malam.

Hasyim mengatakan, SBY sebaiknya tidak mengutak-atik Sultan lewat peraturan perundang-undangan. Meski pemerintah memiliki hak untuk mengajukan peraturan perundang-undangan.

"Karena dampaknya akan memukul balik SBY melalui gelombang emosional warga Yogyakarta kalau sampai referendum berjalan terus, akan berdampak luas terhadap keselamatan republik," ungkap pengasuh pondook pesantren Al Hikam Malang ini.

Hasyim melihat kasus ini sebagai momen SBY mengerjai Sultan sebagai lawan politiknya. Strategi mengerjai pesaing dan tokoh yang berbeda pendapat dengan kooptasi devide et impera serta isolasi.

"Harus diganti dengan persaingan sehat demokratis berdasarkan strategi 'fastabiqul khoirot' (berlomba-lomba memberikan kepada rakyat) karena manakala tokoh-tokoh nasional dikerjai satu persatu melalui kooptasi devide et impera serta isolasi dalam putaran pertama bisa saja berhasil namun pada putaran selanjutnya akan berbalik menjadi common attack alias serangan bersama-sama," jelasnya.

SBY menyampaikan pandangannya soal RUU Keistimewaan DIY saat menggelar rapat terbatas di Kantor Presiden pada 26 November. Agendanya, mendengarkan pemaparan dari Mendagri Gamawan Fauzi tentang perkembangan empat RUU yang akan segera dirampungkan oleh pemerintah, di antaranya RUU Keistimewaan DIY yang telah lama terbengkalai.

"Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi," kata SBY saat itu.

http://www.detiknews.com/read/2010/12/02/034826/1507178/10/hasyim-muzadi-nilai-pendapat-sby-soal-monarki-yogyakarta-keliru?9911032

Saturday, December 4, 2010

Kemasan Demokrasi - Perilaku Tirani

04/12/2010 05:20:07 Tampaknya kontroversi monarki versus demokrasi menjadi hangat setelah bola panas dilempar oleh Presiden SBY dalam rapat kabinet sekitar seminggu lalu. Begitu hantaman menjadi bertubi-tubi bukan hanya dari Yogya namun dari hampir seluruh pakar maupun masyarakat Indonesia, pemerintah pusat menyampaikan lewat menteri maupun anggota partainya bahwa ‘rakyat salah paham’ bahkan ‘Diperpolitisir’, yang didengar hanya kulitnya, wah naif bener cara berpikirnya. Namun banyak pihak berpendapat bahwa justru presiden yang meng-create kesalah pahaman ini karena entah sengaja untuk maksud tertentu atau memang tak paham. Mengherankan ketika monarki dipertentangkan secara langsung dengan demokrasi. Secara mendasar bahwa menurut ilmu kepemerintahan yang disebut Monarki yaitu pemerintahan bersifat kerajaan ini mempunyai dua sifat ialah Absolute Monarchy seperti yang dilaksanakan ketika raja Prancis seperti Louis XVI yang di awal pemerintahannya sangat dicintai rakyatnya dan kemudian memerintah dengan sewenang-wenang dengan peran Maria Antoinette sang permesuri yang mempunyai gaya hidup tinggi sebagai pewaris kebangsawanan Austria yang akhirnya keduanya dihukum dengan guillotine. Dan ingat lho, sejarah sering berulang kembali. Kemudian ada pemerintahan Monarki Konstitusional seperti sekarang masih banyak dianut di Eropa seperti, Inggris Raya, Nederland, Spanyol, Belgia, Monaco dan di Asia misalnya Thailand, Jepang dll, meskipun tampilannya monarchi namun perilaku pemerintahannya demokrasi karena menganut asas trias politica. Kemudian ada pemerintahan dengan kemasan demokratis namun dalam pelaksanaannya tiran atau absolutism seperti zaman Orba, Idi Amin atau lengkapnya Idi Amin Dada Oomee Presiden Uganda, dll. Jadi sebenarnya kita tak perlu perlu alergi dengan kata monarki dan jangan terlalu silau dengan kata demokrasi kalau semua itu hanya tampilan atau kemasan saja. Dengan berpretensi baik, bahwa pidato di rapat kabinet seminggu lalu bukan disengaja salah, ini berarti pemahaman terhadap suatu kata penting sangat dangkal. Selain itu, untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena gubernurnya seorang raja dan memimpin provinsi seumur hidup dikatakan monarki. Padahal ini kan hanya kemasan, tapi dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan di DIY sesuai dengan pemerintahan republik, segala sistem perundang 9annya jadi perilakunya demokrasi namun keadaan ini dikatakan tidak demokratis dan disebut monarki. Inilah cara pengambilan keputusan berdasarkan premis minor dan mengesampingkan premis mayor. Dan dalam draft RUUK-DIY yang dibahas di sidang kabinet tanggal 2 Desember 2010 nampaknya pemerintah ngotot sesuai keinginannya seperti yang disampaikan presiden (dikutip dari KR, 03/12/10) sbb: “Apalagi hanya direduksi urusan Sultan dengan saya. Bukan. Justru yang tengah kami pikirkan, kita rancang bersama DPR kemudian ditetapkan dalam UU adalah keistimewaan Yogyakarta dalam arti utuh dan menyeluruh. Yang di dalam UU dewasa ini soal itu belum diatur secara eksplisit”. Bandingkan pernyataan ini dengan apa yang terjadi ketika pada periode Parlemen DPR-RI 2004-2009 yang mana Komisi II membahas RUUK-DIY ini dengan posisi 9 fraksi menyetujui penetapan gubernur DIY dan hanya satu pemilihan yaitu fraksi Demokrat namun urung menjadi UUK-DIY, substansi alasannya adalah RUUK-DIY ini adalah inisiatif Pemerintah hingga bila pengusul tidak setuju maka tak dapat dilanjutkan walau mayoritas wakil rakyat bersikap sebaliknya. Sedangkan operasi penggagalannya adalah dengan mangkir sidang hingga habis waktu, periode anggota dewan yang kebetulan waktunya bertepatan dengan puasa dan masa reses, jadi memang menguntungkan untuk berulah. Bukankah ini pelecehan terhadap anggota dewan yang nyata-nyata telah bekerja keras namun hasilnya dinafikan dengan begitu saja melalui tindak-tanduk Macliavellis? Dan lagi bukankah ini yang dinamakan kemasan demokrasi namun perilaku tirani? Pertanyaan warga Ngayogyakarto: keculasan apa lagi yang akan dimainkan? Bila perilaku para orang yang seharusnya sebagai negarawan dengan kemasan demokrasi namun perilakunya diktator saya jadi ingat akan sajak Heinrich Heine seorang penyair satir Jerman di abad ke 19 yang 25 tahun hidupnya mengasingkan diri di Paris karena diberangus oleh pemerintahnya sbb: Tersenyum, meninggal seorang tiran; Krena, tahu sesudah ya pergi; Diktatorisma, hanya berpindah tangan; Dan, perbudakan berlanjut abadi. Betapa malang nasibmu nak, bangsa Indonesia ini, karena dipimpin oleh para politikus bukan oleh negarawan. Padahal harapan semua orang ketika menjadi pimpinan tertinggi negara yang yang didambakan adalah seorang negarawan, yang saya pinjam dari istilah Cak Nun bahwa pemimpin yang dalam dirinya berisi seluruh rakyat bukan pemimpin yang dalam dirinya hanya penuh dengan dirinya sendiri plus keluarga dan kroni. Yang jelas kita tidak memerlukan politikus di level ini karena politik adalah pemangku kepentingan, dan untuk politikus ini telah digambarkan dengar sangat sederhana, renyah namun satir sbb: If you throw a politician to the river; You will get a pollution; But if you throw all politicians to the river; So you will get a solution. Maka sebaiknya sebagai sebuah bangsa besar pemerintah ini dapat sedikit cerdas, dari pada mengusik RUUK-DIY yang ayem tentrem lebih baik pikirkan masalah-masalah pemberantasan budaya korupsi, mafia hukum, pelecehan harkat dan martabat TKI, keamburadulan sistem pendidikan, degradasi kedaulatan bangsa dan negara di wilayah NKRI, dan ingat jangan pandang enteng masalah penembakan misterius di Papua, itu hanya simptom bukan intinya. Seperti disampaikan pemberitaan di Papua Barat, saat ini para separatis telah mempunyai perwakilan di Port Moresby dan beberapa negara telah mengizinkan pengibaran bendera OPM di negaranya selama 10 hari dalam rangka Hari Jadi ke 49 OPM yaitu seperti Wali Kota Oxford, dan kalau tidak salah juga di Australia, New Zealand, Papua Nuigini telah ada yang mulai mengizinkannya. Selain itu negara-negara besar baru mulai menunjukkan kekuatan ekonomi maupun pengaruh globalnya seperti Brazilia, Rusia, India dan China (BRIC) dan sebenarnya Indonesia punya kans untuk setara dengan keempat negara besar ini dipandang dari segi modal sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Maka seyogianya segeralah pemerintah menoleh menuju ke sana dari pada kehabisan energi dan kehilangan muka hanya untuk Yogya hingga nantinya entitas negara-negara ini menjadi IBRIC karena ditambah Indonesia hingga dalam geopoitik akan dapat lebih mengimbangi keangkuhan Amerika maupun soliditas Eropa. Saran saya solusi untuk RUUK-DIY ini, silakan saja untuk berpenampilan glamour dalam membangun citra diri tapi berpikir dan bertindaklah yang sejuk dan sebaliknya soal keteduhan warga Ngayogyakarta, saya yakin pasti cool kalau gubernur dan wakil gubernur DIY ditentukan dengan cara penetapan. Gampang kan? Gitu saja kok repot. q-g-(2086-2010). *) Prof Dr Ir Sunjoto, Rektor UWMY, Ketua Gentaraja.

Sultan Pemimpin Masyarakat Tertinggi

Padang, CyberNews. Sejarawan dari Universitas Negeri Padang Prof Mestika Zed mengatakan bahwa kedudukan Sultan di Daerah Istimewa Yogyakarta idealnya tetap sebagai simbol kerajaan yang memiliki kekuasaan luas, namun tetap perlu ada eksekutif untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari.

"Sultan Yogya tetap dalam kedudukannya sebagai pemimpin masyarakat tertingi, namun untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari bisa dia sendiri atau ada seseorang yang diangkat," kata Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP) di Padang, Sabtu (4/12).

Dia mengatakan hal itu terkait polemik yang terjadi tentang kedudukan Sultan dan keistimewaaan Yogyakarta. Menurut dia, kedudukan istimewa Yogyakarta adalah suatu hal yang harus dimaknai dan tidak bisa diperdebatkan, karena daerah itu oleh penguasa bangsa memang diberikan hak istimewa mengingat perannya dalam sejarah perjuangan.

Dalam UUD 1945, kata Mestika, sudah diatur bahwa negara melindungi hak hukum masyarakat adat, dan Yogyakarta adalah salah satu yang harus dilindungi itu. "Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengganggu-gugat bagaimana sistem yang diatur pada daerah istimewa itu, termasuk soal pemilihan kepala daerahnya," katanya.

Menurut dia, solusi untuk menyamaratakan soal pemilihan kepala daerah juga tidak bisa dilakukan mengingat kultur masyarakatnya berbeda dengan daerah lain. "Bagi masyarakat Yogyakarta, Sultan itu tetap pemimpim tertingginya. Terkait hak istimewa pada beberapa daerah memang ada, dan itu sudah diatur oleh undang-undang," katanya.
Mestika menyebutkan sejumlah daerah itu di antaranya Aceh, Yogyakarta dan DKI. "Sebenarnya tidak ada masalah dan tidak perlu diperdebatkan karena memang hal ini sudah ada sejak dulu dan masyarakatnya juga sudah terbiasa dengan hal ini," ujarnya menambahkan.

Mestika juga mengatakan, tidak ada yang bertentangan dengan sistem pemerintahan di Yogyakarta karena sebenarnya beberapa negara maju juga sudah menjalankannya. "Benar monarki itu bertentangan dengan demokrasi, namun kita bisa menyiasatinya dengan menjadikan Sultan sebagai simbol kekuasaan tertinggi tapi tidak harus sebagai eksekutif yang menjalankan pemerintahan," katanya.

Sultan, katanya, bisa sebagai badan konsultatif dan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di daerah itu. "Kita bisa mencontoh Raja Thailand yang merupakan simbol kerajaan tertinggi namun tidak harus menjalankan pemerintahan," katanya.
( Ant /CN13