Sayangnya istilah moderasi beragama ini sering disalahpahami. Moderasi sering diartikan kompromi keyakinan dengan agama lain, tidak sungguh-sungguh dalam beragama, tidak peduli dengan agama sendiri, bahkan dikatakan liberal, dan lain-lain. Padahal moderasi beragama merupakan sikap beragama yang seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai, sehingga tercipta toleransi dan kerukunan.
Istilah moderasi beragama memang baru di negara kita, namun dalam Islam sikap moderasi ini sudah lama adanya. Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu menjadi umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Alquran surah Al-Baqarah ayat 143 menyebutkan: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas(perbuatan) kamu”.
Salah satu bentuk moderasi beragama yang ditunjukkan Islam adalah dengan memberikan kebebasan beragama. Ini dapat kita lihat pada Pasal 25 Piagam Madinah yang menyebutkan “bagi orang-orang Yahudi, agama meraka dan orang-orang Islam agama mereka.” Pasal ini memberikan jaminan kebebasan beragama. Piagam Madinah adalah suatu Piagam Politik yang dibuat oleh nabi Muhammad Saw tidak lama setelah beliau hijrah ke Madinah, digunakan untuk mengatur kehidupan bersama masyarakat Madinah yang dihuni oleh beberapa macam golongan. Dalam Piagam itu dirumuskan kebebasan beragama, hubungan antarakelompok, dan kewajiban mempertahankan kesatuan hidup bersama.
Di antara wujud kebebasan beragama itu adalah beribadat menurut agama masing-masing. Dalam kehidupan bersama itu, komunitas Yahudi bebas dalam melaksanakan agama mereka dan Islam menunjukkan toleransi terhadap agama lain. Kebebasan beragama yang ditetapkan dalam Piagam Madinah itu, tampaknya lebih dulu dari turunnya firman Allah: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingat pada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali agama yang kuat yang tidak pernah putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah:256)
Kebebasan beragama itu tampak pula pada pertemuan tiga agama di Madinah, yaitu agama Islam, Yahudi, dan Nasrani. Dalam suasana kebebasan beragama diadakan dialog dan debat teologis antarpemuka agama dari ketiga agama itu. Pihak Yahudi menolak sama sakali ajaran Isa dan Muhammad Saw, mereka menonjolkan bahwa Uzayr adalah anak Allah. Pihak Nasrani mengemukakan paham trinitas dan mengakui Isa-lah adalah anak Tuhan. Muhammad Saw mengajak manusia mengesakan Tuhan. Kepada kaum Yahudi dan Nasrani, Muhammad Saw., mengajak: “Marilah kita menerima kalimat yang sama di antara kami dan kalian. Bahwa tidak ada yang kita sembah selain Allah. Kita tidak mempersekutukan-Nya dengan apa pun. Tidak pula di antara kita mempertuhan satu sama lain, selain Allah. Pertemuan tiga agama tersebut tidak membawa kepada kesatuan agama. Yahudi dan Nasrani tetap pada pendirian mereka. Muhammad Saw juga tidak memaksa untuk mengubah agama mereka. Muhammad Saw., hanya mengajak mereka meng-Esa-kan Allah.
Kemudian ketika bulan Januari 630 M atau Ramadhan tahun ke-8 H kota Mekah jatuh ke bawah kekuasaan Islam, dikenal dengan sebutan fath atau penaklukan par excellence. Muhammad Saw. menunjukkan kebesaran jiwa, keluasan pandangan dan sikap kasih sayangnya dengan memberikan amnesti umum kepada seluruh kaum musyrikin Quraisy, termasuk semua pemimpin mereka. Sejalan dengan kebijakan tersebut tidak seorang pun dipaksa masuk Islam. Konversi agama, tampaknya benar-benar diserahkan kepada kesadaran mereka.
Piagam Madinah yang berlaku pada zaman Rasulullah memuat ketentuan-ketentuan moderasi beragama yang menjadi dasar kerukunan hidup beragama. Artinya, para pemeluk agama yang berbeda harus hidup berdampingan secara damai. Agama yang berbeda tidak menjadi penghalang bagi kerukunan hidup di tengah masyarakat. Baik dalam beribadah sebagai individu maupun dalam berinteraksi sosial sebagai anggota masyarakat, Islam mengajarkan untuk selalu bersikap moderat.
Islam juga cinta damai. Alquran Surah An-Nisa ayat 114 menjelaskan “Tidak ada kebaikan dari orang-orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat baik, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” Perdamaian antara orang Islam dan bukan Islam diperbolehkan dengan berdasarkan ketentuan syariat. “Jika mereka merendah untuk berdamai, maka merendahlah kepadanya dan bertawakallah kepada Allah. Sesunguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 16). Nabi Saw. sangat giat dalam usaha kepada perdamaian.
“Al-diin al-mu’amalah (Agama adalah interaksi)” demikian Nabi Saw bersabda. Maksud beliau, keberagaman diukur dari interaksi. Semakin baik interaksi seseorang semakin baik pula keberagamaanya. Islam yang juga terambil dari kata yang sama “salam atau damai”, menuntut agar interaksi atau hubungan dengan siapa pun harus dilakukan dengan baik, damai, dan membawa kepada kedamaian. Demikianlah Islam dengan ajarannya sangat menganjurkan adanya kerukunan dan kedamaian di manapun dan kapanpun. Rukun dan damai adalah wujud esensi dari moderasi beragama, dan moderasi beragama atau ”wasathiyah” merupakan esensi dari ajaran Islam.
Rabiatul Adawiah/Penulis adalah dosen pada Fakultas Syariah UIN Antasari Banjarmasin.
No comments:
Post a Comment