Wednesday, October 9, 2024

Bisnis Berkah

Banyak tulisan dan artikel yang mengupas tentang konsep bisnis, etika bisnis, dan manajemen bisnis dalam Alquran. Namun, tidak banyak yang secara spesifik mengupas tentang bagaimana bisnis berkah itu diperoleh. Sehingga, banyak yang bertanya-tanya, apa sih bisnis berkah itu? Bagaimana mendapatkanya? Dan, dengan cara apa? 

Harus diakui, aktivitas bisnis adalah sebuah keniscayaan. Bisnis selalu berpengaruh besar dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Padahal, bisnis hanya satu dari banyak sumber rezeki. Namun, dari bisnis inilah kita bisa berharap ekonomi umat makin kuat.

Nah, ekonomi umat kuat bisa dilihat dari ekonomi keluarga mapan. Keluarga yang mapan itu keluarga yang sumber rezekinya dipenuhi keberkahan. Rezeki bisa dari pemasukan gaji bulanan juga bisa dari pendapatan bisnis setiap harinya. Semuanya baik dan benar asal sumber dan cara mendapatkannya juga tepat dan halal. Inilah yang membedakan bisnis itu berkah atau tidaknya. 

Islam menetapkan kerja sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang sesuai dengan kapasitas dan kemampuan. Bukan hanya sebatas itu, Islam juga telah mengangkat kerja pada level ”wajib” dengan menyebutkan kerja itu secara konsisten sebanyak 50 kali dalam Alquran yang digandengkan dengan iman.

Seperti ayat: “alladzina amanu wa ‘amilu al-shalihat”. Karena, adanya penekanan terhadap amal (kerja) inilah yang membuat Islam disebut sebagai agama aksi, bukan agama kata.

Hubungan antara iman dan kerja itu sama dengan hubungan antara akar dan pohon. Yang salah satunya tidak mungkin bisa eksis tanpa adanya yang lain. Islam tidak mengakui bahkan menolak keimanan yang tidak membuahkan kerja yang baik.

Di sisi lain, pandangan Islam terhadap kerja dan bisnis bisa dilihat di antaranya dari ayat-ayat Alquran berikut ini: (QS at-Taubah: 105); (QS Fushshilat: 46); (QS al-Baqarah: 198); (QS an-Nisa’: 29); (QS al-Jumu’ ah: 10-11); dan (QS al-An’ aam: 132).

Karena itu, sebaik-baik pekerjaan adalah yang menghasilkan rezeki yang mengandung nilai keberkahan. Maka, jangan hanya mengejar banyaknya rezeki, tetapi kejar berkahnya rezeki. Bukan banyaknya rezeki yang membuat cukup. Kecukupan berkait soal keberkahan.

Ketika rezeki dari bisnis berkah, banyak atau sedikit menjadi lapang. Namun, ketika berkah hilang, banyak atau sedikit pendapatan bisnisnya bisa berujung pada kesempitan hidup.

Karena, hakikat makna berkah adalah bertambahnya kebaikan. Jadi, tips sederhana mendiagnosis apakah bisnis itu berkah atau tidak, yaitu dengan melihat hasil bisnis tersebut apakah mendatangkan kebaikan demi kebaikan, ketenangan, kedamaian, dan kerukunan atau sebaliknya malah semakin menambah keburukan, kecemasan, dan kerakusan hingga menjauhkan dirinya dari Allah, Sang Pemilik Rezeki.

Wallahu a’lam.


Tuesday, June 27, 2023

Idul Adha

*RENUNGAN KECIL DIHARI ARAFAH*


Hari ini, berjuta kaum muslimin dari berbagai penjuru dunia begerak bersama menuju padang Arafah, untuk melaksanakan puncak prosesi ibadah Haji...! ‎ 

Haji adalah Arafah... ‎ 

Arafah adalah Hari Perenungan... 

Sebuah perenungan tentang Sang Khalik...  

Sebuah perenungan tentang untuk apa kita diciptakan...  

Arafah adalah sebuah potret kecil tentang Mahsyar...  

Mahsyar adalah sebuah hari dimana manusia akan ditimbang kadar haq dan batil dalam dirinya...  

Mahsyar adalah sebuah hari yang sangat terik yang tidak ada penghalang atasnya...  

Mahsyar adalah sebuah hari yang mencekam dimana manusia ditimpa resah dan gelisah...  

Kegelisahan yang teramat sangat, 
karena Mahsyar adalah hari penantian tentang nasib manusia apakah ia akan masuk surga atau neraka...  

Mahsyar adalah sebuah hari penyesalan...  

Sebuah penyesalan karena manusia telah lalai menunaikan dharma untuk apa ia dicipta...  

Sebuah penyesalan karena manusia lalai untuk beramal shaleh semasa hidup di alam dunia...  

Sedemikian dahsyatnya Mahsyar,  
hingga manusia kelak akan mencari perlindungan walau hanya pada sebutir kurma yang pernah ia sedekahkan...  

Maka, beruntunglah mereka yang Allah beri naungan dari dahsyatnya alam Mahsyar...  ‎ 

Mereka adalah pemimpin yang amanah dan adil...  

Para pemuda yang hatinya tertambat kepada masjid...  

Manusia yang saling mencintai karena Allah...  

Manusia yang bersedekah dengan tangan kanannya tanpa harus diketahui oleh tangan kirinya...  

Manusia yang menolak perbuatan keji karena takut akan Tuhannya...  

Manusia yang tekun ibadahnya seraya berlinang air mata ketika ia berdzikir semata karena takut akan Tuhannya...  


Selamat Hari Arafah saudara-riku tercinta...  

Semoga Allah mengampuni kehinaan dan kebodohan kita...  

Semoga Allah selalu menjadikan kita orang yang rendah hati di setiap langkah kaki di bumi ini...  

Semoga Allah meneguhkan iman dan Islam kita... 

Mengganti tangisan kita dengan senyuman...  

Luka derita dengan kebahagiaan...  

Penyakit dengan kesehatan...

Kesempitan rezeki dengan kelapangan...  

Kesesatan dengan petunjuk...  

Kesulitan dengan kemudahan... ‎

Keputusasaan dengan harapan..  

Ya Allah... 
tiada henti air mata ini mengalir memohon kasih dan cintaMu... 

Wednesday, May 31, 2023

Visi Aktualisasi Pancasila

Tulisan yang Menarik untuk disimak dari Yudi Latif:

Visi-Aktualisasi Pancasila 
Yudi Latif

Indonesia ibarat kapal besar yang limbung; terperangkap dalam pusaran gelombang hari ini; tanpa jangkar kuat ke masa lalu, tanpa arah jelas ke masa depan.

Untuk mengeluarkan bahtera dari situasi limbung, sebuah negara memerlukan strategi untuk membangun hubungan yang proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara aspirasi dan kababilitas. John Lewis Gaddis dalam On Grand Strategy (2018), melukiskan dua tipe kepemimpinan yang kerap muncul di sepanjang perlintasan yang mengbungkan kedua titik (tujuan dan sarana) itu: tipe landak (hedgehogs) dan tipe rubah (foxes). 

Tipe pertama bertindak lurus dengan menghubungkan segala sesuatu dengan visi sentral, yang memberi arah ke mana harus menuju. Tipe kedua bertindak tak menentu, mengikuti kepekaan penciumannya yang bisa mengarah ke berbagai tujuan yang tak saling berhubungan bahkan mungkin kontradiktif.

Tipe pertama bisa memberi arah ke mana bangsa harus melangkah, akan tetapi acapkali tak bisa mendeteksi bahwa di sepanjang perlintasan visi itu ada banyak ranjau, lobang dan rawa yang harus dihindari agar bisa sampai tujuan. Digerakkan oleh dorongan intuitif, tipe ini juga bisa kurang realistis bahwa aspirasi itu bersifat tak terbatas (infinite), sedang sarana dan kapabilitas itu selalu besifat terbatas (finite). Tipe kedua bisa memberi kepekaan terhadap potensi ancaman dan perubahan yang bersifat sinkronis, akan tetapi bisa melupakan visi besar kemana pergerakan harus menuju. Digerakkan oleh rasionalitas situasional, tipe ini lebih tertarik merespon problem ad-hoc tanpa kesanggupan menghubungkannya dengan tujuan.

Sebuah strategi yang tepat harus mampu merekonsialiasikan kontradiksi antara dua tipe kepemimpinan tersebut. Kita harus bisa mengambil sisi-sisi positif dari kedua karakter itu. Kita perlu keajegan visi landak, yang  memberi prinsip dan haluan direktif berjangka panjang; tanpa kehilangan fleksibilitas rubah, yang bisa senantiasa merespon ancaman dan perkembangan yang terus berubah. Sebaliknya, dalam mengerahkan sarana dan kapabilitas untuk menghadapi masalah-masalah temporer, kita tak melupakan gerak kembali ke jalan visi yang lebih permanen.

Krisis Kepemimpinan
Krisis kepemimpinan negara Indonesia hari ini bukan disebabkan kontradiksi antara tipe landak dan tipe rubah, melainkan karena (nyaris) kehilangan keduanya. Kita tidak memiliki keajegan visi sebagai haluan direktif, saat yang sama seperti kehilangan sense of crisis untuk bisa merepons tantangan-tantangan segera. Para pemimpin politik terperangkap dalam pusaran gelombang huru hara hari ini; terus berayun dari satu isu ke isu yang lain, tanpa sungguh-sungguh mengatasi masalah yang muncul. 

Mengapa hal itu terjadi? Karena kita tidak bisa belajar dari sisi-sisi baik masa lalu.  Bahwa masa lalu itu sesungguhnya tak pernah sepenuhnya terang dan tak pernah sepenuhnya gelap. Kita harus bisa mempertahankan yang terang dan menyingkirkan yang gelap.  Akan tetapi, dalam bayangan arus besar bangsa Indonesia, masa lalu itu senantiasa membersitkan ingatan pedih yang tak bisa dilampau, dengan risiko mengulanginya.

Sebuah bangsa yang tidak bisa melihat sisi-sisi terang dari masa lalu tidak memiliki jangkar untuk menambatkan visi masa depan. Memang benar, tak ada seorang pun yang bisa mengantisipasi segala sesuatu yang mungkin terjadi di masa depan. Akan tetapi, memprediksi kemungkinan yang terjadi di masa depan lebih baik daripada tidak mempersiapkannya sama sekali. Untuk itu, pengetahuan tentang masa lalu dapat membantu memahami masa depan. Tanpa menyadari masa lalu, perjalanan ke depan ibarat memasuki lorong sunyi kekelaman. Amnesia merupakan kemalangan ketidaktahuan dalam kesunyian. 

Akan tetapi pengalaman masa lalu dan kemungkinan mengekstrapolasikannya ke masa depan adalah suatu penziarahan kompleksitas tak bertepi. Maka, kepemimpinan, sebagaimana diingatkan oleh Sun Tzu, harus mampu melihat simplisitas dalam kompleksitas. Dari kompleksitas pengalaman masa lalu, pemimpin harus bisa menemukan prinsip-prinsip utamanya, yang dengan itu, perjalanan ke masa depan memilik tambatan; kompas untuk mengarungi kegelapan. Dalam kaitan ini, Sun Tzu memberi contoh: dari sekian banyak kemungkinan melodi musik, secara prinsip bermula dari lima not (pentatonik); dari sekian banyak kemungkinan mosaik warna, secara prinsip bisa dikembalikan ke lima warna dasar; dari sekian banyak kemungkinan citarasa, secara prinsip bisa ditarik ke lima rasa dasar. Lima adalah dasar simplisitas dari kompleksitas pengalaman. Lima prinsip itu bisa menjadi check list untuk mengantisipasi masa depan.

Prinsip-prinsip tidak bisa dipungut sembarangan, melainkan harus disuling dari pengalaman hidup bersama di masa lalu. Itu sebabnya, mengapa prinsip dan tata kelola negara tidak bisa sekadar dikopi paste dari pengalaman bangsa lain. Pada musim semi tahun 1990, sekitar dua lusin ahli konstitusi, hukum dan hakim dari dunia Barat berkumpul di Praha dalam rangka membantu pembuatan draft konstitusi baru bagi negara-negara Eropa Timur dengan memasukan nilai-nilai dan tata kelola yang berlaku di dunia Barat. Akan tetapi, tanpa pemahaman terhadap kompleksitas struktur sosial dan pengalaman belajar sosial dari masyarakat yang bersangkutan, instalasi tata kelola baru itu terbukti tidak berjalan seperti yang diharapkan. 

Berdasarkan pengalaman tersebut Clayton M. Christenson (2019) menyimpulkan bahwa “Institusi sosial itu merefleksikan nilai masyarakat yang bersangkutan. Maka dari itu, membangun institusi yang kuat tidaklah sesederhana “mengekspor” apa yang bisa berjalan di suatu tempat ke tempat lain.” Dengan kata lain, menemukan prinsip sebagai tambatan visi ke depan, harus merupakan intisari dari budaya masyarakat. Budaya dalam pengertian ini, sebagaimana didefiniskan oleh profesor MIT, Edgar Schein (1988), adalah: “Cara bekerja sama menuju tujuan bersama yang telah terbukti berhasil dan diikuti secara berulang oleh masyarakat, yang membuat banyak orang bahkan tidak terpikir untuk mencoba cara lain.”  

Setelah melalui pengkajian dan pembelajaran lintas-kultural dan lintas-zaman, para pendiri bangsa tiba pada kesimpulan, bahwa prinsip dasar sebagai tambatan visi bangsa Indonesia, yang muncul sebagai refleksi budaya yang telah terbukti efektif dalam mengarungi kehidupan bersama itu terkristalisasi dalam Pancasila. Yang pada dasarnya, prinsip Pancasila sendiri tumbuh di atas landasan budaya gotong-royong.

Budaya gotong-royong dijadikan tambatan visi ke depan sebagai usaha mengatasi kompleksitas persoalan dalam suatu bangsa majemuk dengan aneka nilai dan konflik kepentingan. Dalam pandangan Soekarno, “Gotong-royong adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari ‘kekeluargaan’....Gotong-royong adalah pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.” Semangat kekeluargaan yang bersifat statis, cenderung mengarahkan welas-asih (altruisme) pada sesama anggota keluarga atau golongan sendiri. Sedang semangat gotong-royong yang bersifat dinamis, lebih memiliki kesanggupan untuk mengarahkan altruisme pada sesama warga sekalipun dari golongan yang berbeda.

Gotong-royong adalah level tertinggi dari proses adaptasi manusia dalam mengarungi tantangan seleksi alam kehidupan, dari makhluk individu dengan kecenderungan simpanse (yang bersifat selfish) menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan lebah (yang bersifat groupish).  Semangat gotong-royong itu adalah semangat kooperatif, kolaboratif: senasib-sepenanggungan; berat sama dipikul, ringan sama dijinjing; bukan yang satu untung, yang lain buntung.  

Ketuhanan menurut alam Pancasila hendaknya dikembangkan dengan jiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Kemanusian universalnya harus berjiwa gotong-royong (yang berkeadilan dan berkeadaban); bukan pergaulan kemanusiaan yang menjajah dan eksploitatif. Persatuan kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mengupayakan persatuan dengan tetap menghargai perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau pun menolak persatuan. Demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas atau minoritas elit penguasa-pemodal. Prinsip keadilannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat tolong-menolong/kooperatif); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme. 

Dengan budaya gotong-royong, visi Pancasila diarahkan untuk mewujudkan prikehidupan bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dan untuk itu,  Pancasila telah mengantisipasi perlunya mengembangkan hubungan yang proporsional antara tujuan dan sarana, antara aspirasi dan kapabilitas. Bahwa visi tersebut tak akan bisa dicapai kecuali menghendaki pembudayaan Pancasila dalam ranah “mental-spiritual” (tata nilai), “institusional-politikal” (tata kelola) dan “material-tekonologikal” (tata sejahtera). 

Tata nilai Pancasila diarahkan untuk menjadikan bangsa yang berkepribadian (berkarakter) dengan nilai utamanya berlandaskan sila pertama, kedua, dan ketiga. Bahwa kehendak untuk bersatu dan harmoni dalam perbedaan bisa diraih manakala kita mampu mengembangkan hubungan welas asih dengan “Yang Mahasuci”, yang memancarkan semangat ketuhanan yang berkebudayaan, lapang dan toleran; welas asih dengan sesama manusia, yang memancarkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab; welas asih dalam hubungan manusia dengan ruang hidup (tanah air) dan pergaulan hidupnya (kebangsaan), yang memancarkan semangat persatuan dalam keragaman bangsa. Dengan spirit Ketuhanan, kemanusiaan dan persatuan, dikembangkan daya-daya spiritualitas dalam sosiabilitas yang berperikemanusiaan, egaliter, mandiri, amanah (berintegritas), beretos kerja yang positif dan kreatif, serta sanggup menjalin persatuan dengan semangat pelayanan (pengorbanan). Agen utama tata nilai ini adalah komunitas. 

Tata kelola sosial-politik Pancasila diarahkan untuk menjadi bangsa yang berdaulat dengan nilai utamanya berlandaskan sila keempat. Bahwa tatanan sosial-politik hendak dibangun melalui mekanisme demokrasi yang bercita kerakyatan, cita permusyawaratan dan cita hikmat-kebijaksanaan dalam suatu rancang bangun institusi-institusi demokrasi yang dapat memperkuat persatuan (negara persatuan) dan keadilan sosial (negara kesejahteraan); yang termanifestasi dalam kehadiran pemerintahan negara yang melindungi segenep bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemedekaan, perdamaian dan keadilan. Agen utama tata kelola ini adalah apartur negara.

Tata sejahtera Pancasila dirahkan untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berkesejahteraan umum dengan nilai utamanya berladaskan sila kelima. Bahwa kemandirian dan kesejahteraan umum hendak diraih dengan mengupayakan perekonomian merdeka; berlandaskan usaha tolong-menolong (semangat koperatif), disertai pengusaan negara atas “karunia kekayaan bersama” (commonwealth) serta atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak; seraya memberi nilai tambah atas karunia yang terberikan dengan input pengetahuan dan teknologi. Agen utama tata sejahtera ini adalah dunia usaha.

Defisit Kapabilitas
Kelahiran Orde Reformasi memberi peluang keberangkatan menuju dunia baru. Sayang, dalam kedatangan momen keemasan itu, yang banyak muncul bukanlah para pemimpin bisa memadukan visi landak dan kapabilitas responsif rubah. Yang banyak berkerumun adalah laron-laron yang terus berpindah dari satu isu ke isu yang lain. Kebebasan sebagai negative right (“bebas dari”) mengalami  musim semi. Namun, kebebasan sebagai Positive right (“bebas untuk”) mengalami musim paceklik. Kita mengalami defisit kapabilitas dalam mengunakan kebebasan itu untuk mewujudkan visi Republik. 

Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan politik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan/keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan tanpa melupakan tujuan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih  mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang. 

Memperingati Hari (lahir) Pancasila bukan sekadar merayakan pepesan kosong. Agar Pancasila itu benar-benar sakti, maka kita harus kembali ke prinsip dasar republik dengan terus menjaga hubungan erat antara tujuan (aspirasi) dan sarana (kapabilitas) berdasarkan Pancasila.

(Yudi Latif, Pengurus Aliansi Kebangsaan)

Friday, April 28, 2023

Manfaat lansia ngomel

MANFAAT NGOMEL BAGI LANSIA

Ternyata semakin banyak ngoceh dan bawel memasuki lansia semakin menyehatkan.
Bicaralah lebih banyak seiring bertambahnya usia.
Dokter mengatakan demikian.  
Warga Senior (pensiunan) harus berbicara lebih banyak.
 
Karena saat ini tidak ada cara untuk mencegah kehilangan ingatan.  

Satu-satunya cara adalah berbicara lebih banyak. 

Setidaknya ada tiga manfaat berbicara lebih banyak kepada warga lanjut usia.  

Pertama :
Berbicara mengaktifkan otak dan membuat otak tetap aktif, karena bahasa dan pikiran berkomunikasi satu sama lain, terutama ketika berbicara dengan cepat, yang secara alami menghasilkan refleksi berpikir yang lebih cepat dan juga meningkatkan daya ingat.  

Warga lanjut usia yang tidak berbicara, lebih cenderung kehilangan ingatan.

Kedua :
Berbicara mengurangi banyak stres, menghindari penyakit mental dan mengurangi stres.  

Kita sering tidak mengatakan apa-apa, tetapi kita menguburnya dalam hati dan mencekik diri kita sendiri.

Itu benar ! 

Jadi! Akan lebih baik untuk memberikan kesempatan kepada  senior untuk berbicara lebih banyak.

Ketiga :
Berbicara dapat melatih otot wajah dan sekaligus melatih tenggorokan dan juga meningkatkan kapasitas paru-paru, sekaligus mengurangi risiko kerusakan mata dan telinga serta mengurangi risiko laten seperti Pusing dan Tuli.

Pendeknya, para pensiunan, yaitu para lansia Satu-satunya cara untuk mencegah Alzheimer adalah dengan berbicara sebanyak mungkin dan berkomunikasi secara aktif dengan orang-orang.  

Tidak ada pengobatan lain untuk itu.  
   
 Semoga Bermanfaat.
Hidup Lansia

Tuesday, December 27, 2022

MOTIVASI

 Motivasi adalah keinginan untuk bertindak demi tujuan. Motivasi ini adalah elemen penting dalam menetapkan dan mencapai tujuan kita.

Motivasi merupakan salah satu kekuatan pendorong di balik perilaku manusia, yang  memicu persaingan dan memicu hubungan sosial. 

Ketidakhadirannya motivasi dapat menyebabkan penyakit mental seperti depresi.  Motivasi mencakup keinginan untuk terus berjuang menuju makna, tujuan, dan kehidupan yang layak dijalani.

Orang sering memiliki banyak motif untuk terlibat dalam satu perilaku.  Motivasi mungkin ekstrinsik, di mana seseorang terinspirasi oleh kekuatan luar — orang lain atau penghargaan.  Motivasi juga bisa bersifat intrinsik, di mana inspirasi datang dari dalam—keinginan untuk meningkat pada aktivitas tertentu.  Motivasi intrinsik cenderung mendorong orang lebih kuat, dan pencapaiannya lebih memuaskan.

Salah satu kerangka kerja yang digunakan untuk memahami motivasi adalah hierarki kebutuhan yang diusulkan oleh psikolog Amerika Abraham Maslow pada tahun 1943.

Menurut Maslow, manusia secara inheren termotivasi untuk memperbaiki diri dan bergerak menuju ekspresi potensi penuh mereka—aktualisasi diri—dengan menghadapi dan memuaskan beberapa tingkat secara progresif.  kebutuhan dari yang paling mendasar, seperti makanan dan keamanan, hingga kebutuhan tingkat tinggi akan cinta, rasa memiliki, dan harga diri.

Akhirnya, Maslow memperluas teorinya dengan memasukkan kebutuhan akan transendensi-diri: Orang mencapai puncak pertumbuhan dan menemukan makna tertinggi dalam hidup dengan memperhatikan hal-hal di luar diri.  Meskipun universalitas teori Maslow telah ditantang, banyak yang percaya itu menangkap kebenaran mendasar tentang motivasi manusia.

Orang mungkin termotivasi oleh insentif eksternal, seperti motivasi untuk bekerja demi kompensasi, atau kesenangan internal, seperti motivasi untuk membuat karya seni di waktu senggang.  Sumber motivasi lainnya termasuk rasa ingin tahu, otonomi, validasi identitas dan keyakinan seseorang, menciptakan citra diri yang positif, dan keinginan untuk menghindari potensi kerugian.

Motivasi intrinsik adalah dorongan yang datang murni dari dalam;  itu bukan karena hadiah yang diantisipasi, tenggat waktu, atau tekanan dari luar.  Misalnya, orang yang secara intrinsik termotivasi untuk berlari melakukannya karena mereka menyukai perasaan berlari itu sendiri, dan itu adalah bagian penting dari identitas mereka. 

Motivasi ekstrinsik dapat meningkatkan motivasi dalam jangka pendek, tetapi seiring waktu dapat melemahkan atau bahkan menjadi bumerang.  Sebaliknya, motivasi intrinsik sangat kuat karena terintegrasi ke dalam identitas dan berfungsi sebagai sumber motivasi yang berkelanjutan.

Mencapai tujuan adalah sebuah proses.  Dan semua komponen dari proses itu perlu diperhatikan untuk memastikan kesuksesan, mulai dari menetapkan tujuan, mengatasi hambatan, mempertahankan momentum hingga proyek selesai.

Gagal mencapai tujuan terkadang disebabkan oleh cara yang ditetapkan.  Namun, beberapa trik psikologis dapat membantu menetapkan dan mencapai tujuan tersebut.  Salah satunya adalah memastikan bahwa tujuan tersebut melekat pada suatu nilai, seperti nilai mendukung komunitas lokal Anda atau memerangi perubahan iklim.  Cara lainnya adalah membingkai tujuan Anda sebagai aset yang akan diperoleh daripada ancaman yang harus dihindari.  Misalnya, alih-alih berpikir, "Saya tidak boleh mengganggu atasan saya, agar kita dapat menghindari hubungan yang sulit," cobalah berpikir, "Saya ingin mempelajari keterampilan komunikasi baru untuk mengatur ulang hubungan kita."  Gagasan lainnya adalah mencoba menetapkan tujuan pembelajaran alih-alih tujuan kinerja;  daripada memutuskan untuk menurunkan berat badan sebanyak 10 kg, putuskan untuk mempelajari lebih lanjut tentang nutrisi dan memasak dua resep sehat setiap minggu.

Motivasi menargetkan "mengapa" perubahan, tetapi momentum menargetkan "bagaimana". 

Menghasilkan momentum sangat penting untuk mengambil langkah konkret yang diperlukan untuk keluar dari pola yang mengakar dan melakukan perubahan. 

Berfokus pada momentum juga dapat digunakan dalam konteks terapeutik.  Misalnya, seorang terapis mungkin mengatasi pola penghindaran pada pasien dengan depresi dengan mengidentifikasi langkah-langkah kecil yang telah mereka ambil (bangun dari tempat tidur pagi itu, datang ke terapi) dan kemudian membuat daftar langkah selanjutnya yang dapat mereka ambil selanjutnya. 

Mengenali motivasi untuk berubah dan berfokus pada dinamika yang mendukung perubahan juga dapat membantu membangun momentum.

Beberapa orang mungkin menemukan diri mereka benar-benar terhalang oleh sebuah proyek;  yang lain mungkin hanya ingin memasukkan sedikit lebih banyak produktivitas ke dalam timeline mereka.  Di mana pun motivasi dimulai, selalu ada cara untuk meningkatkannya—apakah itu motivasi Anda sendiri atau orang lain.

Terkadang Anda mungkin merasa benar-benar tidak termotivasi—dan itu tidak masalah.  Dalam situasi itu, biarkan diri Anda merasakan ketidaknyamanan, dengarkan self-talk negatif, lalu tetap lakukan tindakan. Misalnya, Anda pulang ke rumah setelah seharian bekerja dan hanya ingin bersantai dan menonton TV.  Alih-alih menyalakan TV, akui bahwa Anda lelah dan tantang diri Anda untuk membaca lima halaman buku di nakas terlebih dahulu.  Pendekatan ini memberi ruang bagi pikiran dan perasaan negatif, sekaligus membantu Anda mengubah pola yang sudah mendarah daging.

Beberapa tujuan paling umum yang dibuat orang—dan tujuan paling umum yang sulit mereka capai—adalah makan lebih sehat, berolahraga lebih banyak, dan menghemat lebih banyak uang.  Banyak jebakan dapat mencegah orang mencapai tujuan tersebut, tetapi mengantisipasi tantangan tersebut dapat membantu mencapai perubahan nyata.

Banyak orang berjuang untuk tetap diet.  Penelitian menunjukkan bahwa motivator ekstrinsik—untuk menghindari komentar yang menyakitkan atau menyesuaikan diri dengan pakaian—dapat mempercepat proses, tetapi motivasi intrinsik—minat, kesenangan, dan tantangan dalam perjalanan—adalah kunci untuk penurunan berat badan yang berkelanjutan dan bertahan lama.  Motivasi intrinsik mencakup kompetensi, otonomi, dan keterkaitan, jadi sangat membantu untuk 1) memilih diet yang berkelanjutan dan efektif 2) percaya bahwa diet, tanggal mulai, dan tujuan akhir telah dipilih secara mandiri dan tidak “ditugaskan” oleh orang lain 3  ) menemukan komunitas pendukung.

Ada beberapa ide kreatif untuk dipertimbangkan jika motivasi menjadi penghalang untuk berolahraga.  Salah satunya adalah memperluas pilihan yang Anda miliki: Jika Anda tidak punya waktu untuk pergi ke gym, berolahragalah dengan berjalan-jalan, melakukan latihan beban tubuh, atau menonton video yoga.  Cara lainnya adalah membuat olahraga lebih menyenangkan, seperti mendengarkan buku di kaset.  Cara lainnya adalah membuat kontrak sosial dengan teman atau anggota keluarga.  Misalnya, jika Anda mengizinkan waktu telepon untuk menggantikan olahraga, Anda harus menyumbang untuk tujuan yang dipilih orang lain.

===






Sunday, December 11, 2022

MEMAKNAI SAMI'NA WA ATHO'NA

 SALAH satu kunci sukses dalam sebuah kepemimpinan di dalam organisasi apapun juga adalah, jika setiap keputusan ada ditaati dan dilaksanakan. Dengan catatan bahwa pemimpin tersebut saat mengambil keputusan dalam kerangka melaksanakan dan menjalankan amanah organisasi. Sehingga sesuai dengan digariskan dalam visi, misi dan tujuan organisasi yang diderivasikan dalam serangkaian rule of the game, regulasi, aturan serta tata kelola yang menjadi guidelines (petunjuk) bagi organisasi tersebut.

Dan, dalam konteks organisasi Islam yang paling utama adalah menjadikan al-Qur’an dan As-Sunah sebagai pedomannya. Al-Qur’an telah memberikan petunjuk yang indah tentang ketaatan ini di dalam Surat An-Nur ayat 51:

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ ٱلْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا۟ سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami taat”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung”.

Ada satu kalimat yang menjadi kunci di situ, yaitu سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا (“Kami mendengar, dan kami taat”). Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, dalam Tafsir Al-Wajiz saat menafsirkan ini beliau menjelaskan: “Sesungguhnya ucapan: “Kami mendengarkan hukumNya, menaati perintahNya, dan meridhai hukumNya” adalah ucapan orang-orang mukmin saat diajak mematuhi hukum Allah dan rasul-Nya supaya bisa menentukan hukum di antara mereka. Orang-orang yang mendeklarasikan diri untuk taat itu adalah orang-orang yang memenangkan kebaikan dunia akhirat”.

Sedangkan Syaikh Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar di dalam Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, menjelaskan: “Yakni sepatutnya bagi orang-orang beriman untuk berlaku demikian, yaitu apabila mengengar seruan tersebut maka ia harus menanggapinya dengan ketaatan dan ketundukan; mereka tetap mengatakan “kami mendengar perkataannya dan mentaati perintahnya” meski hal itu adalah sesuatu yang tidak mereka suka dan merugikan mereka”.

Disinilah letak ujian dari ketaatan itu. Seringkali kita merasa berat untuk menerima sebuah keputusan dari pemimpin, hanya karena tidak sejalan dengan apa yang kita inginkan. Padahal, dengan sami’na wa atho’na, seberat apapun yang kita rasakan, sesungguhnya kita akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan di dunia dan akhirat, sebagaimana ayat di atas.

Untuk itu, Syaikh Dr. Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam Tafsir As-Sa’di menjelaskan bahwa, “Allah melingkupkan kemuliaan untuk mereka, karena (hakikat) kebahagiaan itu adalah mendapatkan sesuatu yang dipinta dan selamat dari hal-hal yang dibenci. Dan tidaklah berbahagia kecuali orang yang berhukum dan taat kepada Allah dan RasulNya”.

Konsekwensi logisnya, dengan memegang prinsip “sami’na wa atho’na” ini, maka sebagai muslim yang selalu mengharapkan ridho dan petunjuk jalan yang lurus dari Allah ta’ala, adalah harus selalu komitmen (iltizam) untuk benar-benar secara total menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya, dan meninggalkan secara total larangan Allah dengan tanpa terkecuali.

Seberat apapun masalah yang datang, serumit apapun persoalan yang dihadapi jangan pernah memilih menyelesaikan dengan jalan keluar yang bertentangan dengan syariat Allah SWT. Demikian juga jangan mengambil jalan pintas berdasarkan nafsu dan kepentingan diri sendiri/ kelompoknya, diluar apa yang sudah ditetapkan dan digariskan dalam sebuah ketetapan dan keputusan. Dan ketaatan terhadap keputusan itu, juga merupakan ujian tersendiri.

Oleh karena itu Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar terkait dengan sami’na wa atho’na di surat lain, yaitu surat al-Baqarah ayat 285, beliau menjelaskan,” { وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ } Ummat ini adalah ummat yang mengikuti perintah, maka ketika Alllah datangkan kepadanya akal sehat yang menunjukkan kepada kebenaran Rasul-Nya dan kebenaran kitab-Nya, maka sesungguhnya ummat ini tidak akan membantah dalil-dalil yang didatangkan kepada mereka dengan akal yang mereka punya, justru mereka akan mendengarnya dan taat kepadanya”.

Kita menyadari bahwa, seorang pemimpin dalam mengambil keputusan, sudah barang tentu mempertimbangkan berbagai aspek. Menyelaraskan dengan visi, misi, tujuan dan jatidiri organisasi. Mendengarkan berbagai pihak yang berkompeten. Berdasarkan data kualitatif dan kuantuitatif. Terlepas faktor subyektifitas (like or dislike). Juga melalui serangkaian laku ruhiyah dengan meminta petunjuk kepada Allah ta’ala termasuk melalui shalat isthikarah. Sampai kemudian sebuah keputusan itu diambil.

Seorang kawan baik dalam diskusi di WAG menyampaikan data yang menarik. Saat meneliti untuk kepentigan tesisnya, dengan sampel 10 lembaga, didapatkan data sekitar 80-85% rata rata anggota sebuah organisasi yang taat terhadap keputusan pimpinan. Menurutnya tidak ada yang 100%, kecuali yang benar-benar militan, itupun tidak bisa persis seratus persen.

Dia memberi contoh ketaatan santri dalam sebuah pesantren yang memang dituntut untuk sami’na wa atho’na dengan kiainya. Akan tetapi santri yang tidak sefaham dengan aturan pesantren dan kiainya, dia bakal taat dan akan pergi sebelum proses persantriannya selesai.

Alasan ketidaktaatan itu, masih berdasarkan penelitian kawan tadi, selain berbagai hal yang disebutkan di atas, juga adanya realitas yang berbicara bahwa seringkali pimpinan dilihat oleh anggota adalah adanya kekurangan, kelemahan bahkan keburukannya. Sehingga menyebabkan ketidakpercayaan atas keputusan yang diambil. Apapun itu bentuknya. Padahal bisa jadi semua penilaian anggota itu didorong faktor subyektifitas semata, dan tidak berdasar data serta fakta yang memadai.

Dengan demikian maka, tugas dari yang dipimpin (anggota) selanjutnya adalah senantisa berusaha mentaati dan menjalankan setiap keputusan itu. Dengan memegang teguh prinsip sami’na wa atho’na ini. Sehingga berdasar berbagai penjelasan di atas, akan membawa kepada keharmonisan dan keberlangsungan sebuah organisasi/ jama’ah dan akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan dikemudian hari. Dan inilah yang dicontohkan dan dipraktikkan dengan indah oleh Rasulullah beserta sahabatnya. Demikian juga contoh implementasi di berbagai organisasi apapun bentuk dan besarnya di muka bumi ini. Wallahu a’lam.

Asih Subagyo│Senior Researcher Hidayatullah Institute

Friday, December 9, 2022

SELF LEADERSHIP

Self leadership atau kepemimpinan diri adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang secara sengaja untuk mempengaruhi perasaan, pemikiran, dan tindakan diri sendiri hingga mencapai tujuan akhir yang diharapkan, 

Konsep kepemimpinan diri ini tidak dapat Anda kuasai secara kebetulan. Dibutuhkan usaha, latihan, dan kesungguhan, untuk melatih self leadership dalam diri. Sangat sulit untuk menjadi pemimpin yang kredibel dan otentik ketika Anda tidak menyadari kekuatan dan kelemahan diri sendiri. 

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan diri. Yuk simak beberapa tips meningkatkan self leadership di bawah ini!

1. Own Your Mind and Feeling

Sadari bahwa pikiran dan perasaan Anda adalah milik Anda sendiri. Sebagai pemilik, tentunya Anda juga harus bisamengontrol perasaan dan pikiran  yang dimiliki. Saat Anda mampu untuk mengontrol pikiran dan perasaan, Anda akan sekaligus dapat mengontrol aksi dan reaksi  Anda terhadap suatu masalah yang sedang Anda hadapi.

2. Purpose

Tentukan goals dan tujuan hidup yang ingin Anda capai. Setelah menentukan goals, temukan alasan dibalik target yang akan Anda tuju tersebut. Semakin kuat alasan yang Anda miliki dibalik hal-hal yang ingin Anda capai, maka semakin besar Anda berusaha mengendalikan diri agar mampu mencapai tujuan tersebut.

3. Self Awareness

Self awareness  berarti mengenali diri Anda sendiri, termasuk kekuatan dan kelebihan yang Anda miliki. Jangan lupa untuk mengenali karakter dan personality yang Anda miliki, karena ini akan mempengaruhi cara berpikir dan tindakan Anda.

4. Self Efficacy

Milikilah keyakinan yang tinggi atau self efficacy berarti Anda yakin bahwa goals dan tujuan yang Anda buat bisa Anda capai dan dapatkan. Untuk itu, tumbuhkan keyakinan yang kuat terhadap keputusan-keputusan yang akan Anda ambil.

5. Action and Impact

Lakukan aksi yang bertujuan untuk mewujudkan apa pun langkah-langkah yang perlu sehingga Anda bisa mencapai goals. Kemudian lakukan evaluasi terhadap setiap hasil kerja yang dilakukan dan perbaikan apa yang diperlukan untuk menjadi lebih baik.

Pastikan pula Anda memberikan yang terbaik dalam mewujudkan aksi sehingga dapat mencapai suatu dampak yang positif untuk diri sendiri dan lingkungan di sekitar Anda. 

Setelah memahami 5 hal di atas, sekarang saatnya Anda untuk mulai menjalankannya. Yuk mulai dari membuat daftar hal-hal yang terjadi di hari ini, tambahkan juga catatan tentang aksi dan reaksi yang terjadi serta bagaimana aksi dan reaksi yang seharusnya Anda jalankan!

===