Diakui maupun tidak, aktivitas yang bersifat penemuan diri (
Self-Discovery) itu menarik untuk dilakukan. Proses menemukan potensi diri, bakat (
talents), hasrat (
passion), kekuatan (
strengths), kepribadian (
personality), atau apapun adalah hal yang tidak pernah membosankan diri kita. Aktivitas mengeksplorasi diri sendiri, menemukan potensi-potensi yang ada di dalam diri, selalu menarik. Saking menariknya, bisa dibilang adiktif. Kita kecanduan untuk melakukannya berulang-ulang. Inilah sebabnya, industri
Self-Help menjadi industri bernilai jutaan dollar: orang-orang ingin menemukan sesuatu yang hebat di dalam dirinya, dan mengaktualisasikannya.
Sayangnya, meski demikian, tidak semua proses Self-Discovery itu berbasis metode yang saintifik. Beberapa hanya berdasarkan mitos dan pseudosains. Beberapa orang mengeksplorasi berdasarkan kartu, tanggal lahir, bintang-bintang. Sementara yang lain menggunakan bentuk wajah, bentuk tulang, dan sidik jari. Lalu ada pula yang menggunakan kuisioner dan self-asessment. Mana yang saintifik mana yang tidak? Saya tidak bisa menjelaskan satu per satu di sini, silakan tanyakan ke penyedia layanan tersebut sendiri-sendiri. Dan ketika membaca tulisan ini, beberapa orang berpendapat: nggak peduli saintifik atau tidak yang penting hasilnya valid. Lalu saya pun berpikir, bukankah jika hasilnya valid itu seharusnya ia “lulus” secara saintifik? Entahlah.
Kemudian, mau tidak mau saat membahas Self-Discovery kita pun sampai pada bahasan: apakah kualitas diri kita itu sesuatu yang dibentuk atau dilahirkan? Nurture atau nature?
Nature: kualitas diri itu bawaan lahir.
Cara pandang ini melihat bahwa kualitas diri seseorang (bakat, passion, kepribadian, apapun itu) bersifat genetik. Bawaan lahir yang menetap dalam diri seseorang selamanya. Label yang menetap pada diri seseorang dari lahir hingga mati. Dari sini, kita bisa simpulkan dengan cepat bahwa saat kita melakukan Self-Discovery sebenarnya kita sedang mengaminkan cara pandang nature. Bahwa saat lahir, kita sudah membawa potensi-potensi diri, mereka menunggu untuk ditemukan. Inilah sisi positif dari cara pandang Nature. Sisi negatifnya, seringkali kita melabeli diri kita dengan sifat-sifat dan kualitas yang membatasi diri kita. Lalu menyerah begitu saja karena menganggap diri kita memang demikian adanya. Padahal, dalam setiap asessment, selalu ada kemungkinan error, bagaimana jika ternyata hasil asessment-nya tidak valid sementara kita sudah melabeli diri kita dengan label yang
Nurture: kualitas diri itu dibentuk.
Berbeda dengan cara pandang nature, cara pandang nurture melihat bahwa kualitas diri seseorang tidak menetap, berubah-ubah, bisa berkembang atau hilang tergantung pengalaman dan pembelajaran yang ia alami. Cara pandang ini lebih fokus ke masa depan: kualitas apa yang ingin saya bentuk? Bagaimana cara saya melatihnya? Mereka percaya, bila seseorang mampu melakukan sesuatu maka setiap orang mampu belajar untuk melakukannya.
Lalu, mana di antara kedua pandangan itu yang benar? Saya tidak punya kapasitas untuk menjawabnya. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang sudah bertahan lebih dari satu abad, dan mungkin akan bertahan sampai beberapa abad ke depan. Nature dan nurture adalah dua cara pandang dalam dunia psikologi yang masing-masing punya bukti pendukungnya. Saya lebih suka bertanya: mana di antara kedua pandangan ini yang membuat hidup saya semakin berdaya? Jika jawabannya nurture, maka gunakan pandangan itu. Demikian pula sebaliknya.
Lagipula meskipun nampak bertolak belakang, keduanya masih memiliki banyak kesamaan.
Pertama, meskipun cara pandang nature percaya bahwa kita membawa kualitas bawaan, namun kualitas bawaan tersebut masih bersifat potensial. Mereka tidak akan teraktualisasi tanpa kita mau berinvestasi untuk melatihnya.
Kedua, meskipun cara pandang nurture percaya bahwa semua bisa dilatih. Tetap saja mereka akan bertemu dengan kenyataan bahwa, meski latihan yang dilakukan sama – hasil setiap orang berbeda-beda. Artinya setiap orang sudah membawa modal bawaan yang membuat hasilnya berbeda.
Jadi, jangan biarkan Anda terombang-ambing dalam kebingungan yang tidak memberdayakan. Yakini bahwa kita potensi bawaan yang menunggu untuk ditemukan, namun jangan menunggu untuk menemukannya. Cobalah berbagai aktivitas, dalami skill yang ingin Anda kuasai. Percayalah, bahwa manusia memiliki kapasitas untuk berubah ke arah yang lebih baik, apapun potensi bawaannya.
No comments:
Post a Comment