Sunday, November 21, 2010

Asyik Masyuk dengan Tradisi Gunung

GUNUNG Merapi betul-betul memeras air mata. Nyawa melayang dan harta benda ludes akibat gelombang dasyat wedhus gembel melabrak secara mendadak dan luput dari prediksi. Ia hadir tengah malam, kala orang terlelap memeluk mimpi. Sang Juru Kunci, Mbah Maridjan, akhirnya juga “tumbang” di tangan gunung yang dijaga selama puluhan tahun. Gunung memang memiliki hak untuk mengalirkan lahar panas. Bahkan, sebelum peradaban manusia di sekitar lahir, lahar telah jauh mengalir lebih awal. Dan, kali ini wedhus gembel kembali melumat permukiman penduduk serta menghancurkan peradaban mereka.

Sejauh pengamatan, menyimak berbagai berita selama “duka warga Merapi” berlangsung, rupanya banyak media yang memfokuskan diri (kalau tidak mau disebut hanya berkutat) pada situasi Merapi, kondisi korban di barak pengungsian, kerja keras sukarelawan, dan bermacam kebijakan pemerintah dalam upaya penanganan setelah letusan. Nyaris tiada media yang menguak dan menelisik lebih jauh fenomena budaya yang melekat pada penghuni Merapi. Atau, bagaimana bentuk kearifan lokal yang turut terkoyak oleh lahar saat bencana tahun-tahun sebelumnya. Maklum, hal tersebut dianggap remeh dan kurang penting untuk detik ini. Tetapi, jangan salah, apabila kita mengaitkan Merapi dengan potret peradaban budaya masyarakat pendukung, mestinya aspek ini tidak bisa disingkirkan begitu saja.

Melalui pendekatan antropologis-historis, dapat dijelaskan peradaban terbentuk lantaran adanya aktivitas, interaksi, dan respons manusia terhadap lingkungannya. Inilah yang kemudian hari dirumuskan oleh sejarahwan Inggris Arnold Toynbee sebagai teori tantangan dan jawaban. Ilmuwan sosial melakukan telaah budaya berdasarkan lokalitasnya dengan canggih membedakan antara tradisi gunung dan tradisi ngarai.

Tradisi gunung nampak di permukaan dengan ciri-ciri kultur perilaku masyarakat gunung lebih berorientasi kepada potret dialogis antara manusia dengan alam yang bersifat kosmologis, dan hampir sama sekali tiada unsur budaya luar yang sanggup memengaruhi secara signifikan. Jadi, seandainya kita ingin melihat Jawa yang murni yaitu tengoklah komunitas yang hidup di pegunungan. Adapun tradisi ngarai (kota) muncul sebagai perwujudan atas persinggungan atau silang budaya karena terjadi proses akulturasi yang dinamis dengan kebudayaan luar. Pranata Mangsa

Tak ayal, di tengah masyarakat gunung, kita masih mudah menemukan siklus pranata mangsa, petangan, dan ilmu titen. Juga orang Jawa yang tinggal di gunung menganggap gerak sejarah selalu berirama dan terus berulang pada putaran tahun. Pendapat ini diperkuat oleh Soedarmono (2008) bahwa karena gambaran siklus untuk proses pengulangan, maka sejarah Jawa bersifat sakral magis yang menempatkan peran sejarah sebagai fenomena alam, berbeda dari gambaran sejarah Barat yang linier, lebih dinamis, lantaran dilengkapi nilai-nilai harapan (eschatologist) dan teologi.

Menurut mereka, peristiwa sejarah acap dipengaruhi oleh peristiwa alam, justru bukan manusia (agent). Sebab itu, wajar di lingkar Merapi hidup bermacam tradisi lokal yang dikerjakan secara turun temurun dengan tujuan demi menghormati alam, sekalipun gunung telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan mereka pada 18 Desember 1930. Kala itu, tidak kurang dari 1.500 orang tewas dan 2.500 hewan mati. Peristiwa besar tersebut dicatat G Vriens di Majalah Bulanan Claverbond (1931).

Yang menarik justru di Desa Lencoh, Boyolali yang tetap mempertahankan cerita rakyat Kiai Petruk penjaga Merapi meski Kiai Petruk “tak sanggup” membentengi warganya bebas dari amukan Merapi. Ritual yang berhubungan dengan folklor Kiai Petruk ialah upacara sedekah gunung, yang mencerminkan unsur kolektivitas masyarakat. Kemudian, penduduk Desa Kepuhharjo, Cangkringan ternyata masih menjalankan tradisi Becekan atau Dandan Kali guna minta hujan dan memohon perlindungan kepada penguasa Merapi. Konon, dengan cara seperti itu, apabila akan terjadi bencana alam, masyarakat sudah diberitahu melalui perlambang.

(Heri Priyatmoko/CN27)
http://www.suaramerdeka.com/index.html

No comments:

Post a Comment