Raja Yogyakarta sekaligus Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X, menerima kehadiran tiga mahasiswa administrasi negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Jamuan berlangsung di Gedhong Wilis, Kepatihan, kantor Sultan di kompleks perkantoran Provinsi DIY, Jalan Malioboro, Yogyakarta, Rabu awal bulan lalu.
Satu di antara mahasiswa itu adalah Yusuf Akhmad. Dia punya kepentingan ilmiah, mewawancarai Sultan sebagai narasumber bagi skripsinya yang berjudul "Peran Sri Sultan HB X dalam Pengarusutamaan Gender". Wawancara itu berlangsung sekitar satu jam dalam suasana akrab, ditemani cemilan bolu, timus, dan kacang goreng serta teh hangat.
Sultan, sambil mengisap rokok, menjawab pertanyaan dengan lancar dan tegas. "Setiap sultan berhak melakukan perubahan," begitu jawaban diplomatisnya atas pertanyaan penting seputar tradisi keraton. Lantas Sultan menyebutkan beberapa contoh perubahan dalam keraton. Mulai soal tari dan upacara, penataan organisasi, hingga penempatan kerabat perempuan dalam institusi keraton.
Namun, ia menambahkan, perubahan tradisi itu tidak bisa meninggalkan fondasi filosofi keraton, terutama berkaitan dengan aspek spiritualitas. "Pejabat keraton tidak hanya laki-laki. Anak-anak saya (yang semuanya perempuan --Red.) juga menjabat di keraton. Saya juga bisa ngepel, apalagi cuma beres-beres tempat tidur," ujar Sri Sultan HB X sembari tersenyum.
Intinya, isu patriarki dalam Keraton Yogyakarta, menurut Sultan, adalah masa lalu. Jauh ketika wacana kesetaraan gender belum muncul. Jadi, tidak masalah perempuan jadi raja di Keraton Yogyakarta? Yusuf akhirnya melontarkan juga pertanyaan itu.
"Ya, tidak ada masalah. Tapi itu tergantung masyarakat mau mengubah tradisi atau tidak. Masyarakat sendiri dong yang harus menilai. Jangan saya," papar Sultan, sebagaimana diceritakan kembali oleh Yusuf kepada Gatra.
Sultan mewanti-wanti bahwa "terobosan administrasi" keraton semacam itu sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat. Juga keterbukaan pihak keraton dalam menyikapi isu suksesi. "Saudara saya laki-laki ada. Anak saya perempuan ada. Terserah masyarakat," katanya, lugas.
Sepekan setelah wawancara itu, tepatnya Rabu 12 Mei, materi pembicaraan Sultan dengan tiga mahasiswa Fisipol UGM itu dipublikasikan dalam website Pemerintah Provinsi DIY dengan tajuk "Gender dalam Pandangan Sultan". Seperti bensin menyambar api, materi itu jadi berita hangat. Sejumlah koran lokal menjadikannya sebagai headline dengan memuat juga pendapat beberapa pejabat keraton.
Di kalangan jurnalis kepatihan dan keraton, sebetulnya wacana itu sudah beredar sebelum publikasi via website tadi. Namun mereka tak berani "menurunkannya" sebagai berita. "Soalnya sensitif," kata seorang jurnalis harian di Yogyakarta.
Istri Sultan, GKR Hemas, mengemukakan bahwa pernyataan Sultan soal suksesi raja perempuan itu merupakan bentuk keikutsertaan keraton pada perkembangan di masyarakat. Menurut Hemas, untuk mengetahui respons masyarakat, tidak harus melalui polling, referendum, atau pisowanan. Karena keputusan akhir tetap ada pada Sultan. "Beliau sendiri (yang memutuskan), bukan siapa-siapa," katanya.
Hemas juga menyebutkan bahwa wacana itu sudah dibahas secara internal di keluarga keraton. Respons kerabat pun baik. "Nggak masalah. Saya kira sudah (dibahas). Bukan hanya dengan adik-adik Sultan (yang laki-laki), tapi kerabat yang lain. Kerabat kan tidak hanya adik-adiknya," paparnya.
Sebagai catatan, Sri Sultan HB X dan permaisurinya, GKR Hemas, tidak memiliki anak laki-laki. Lima anak perempuan. Mereka adalah GRA Nurmalita Sari (putri sulung, bergelar Gusti Kanjeng Ratu Pembayun), GRA Nurmagupita, GRA Nurkamnari Dewi, GRA Nurabra Juwita, dan GRA Nurastuti Vijareni.
Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menolak mengomentari pusaran wacana yang mengarah kepada dirinya sebagai putri tertua Sri Sultan HB X itu. "Saya ngurusi pasar tradisional saja, ha, ha, ha...," kata Pembayun, yang kini menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) DIY, sambil tersenyum lepas.
Salah satu adik Sultan, GPBH Yudhaningrat, meyakini pernyataan Sultan itu sebagai ucapan pribadi. "Sultan telanjur omong," katanya dengan nada pasrah, menyesalkan. "Jangankan pembahasan (di keluarga keraton), pemikiran (seperti itu) pun tidak ada sebelumnya. Secara pribadi tidak apa-apa. Tapi, dalam kapasitas sebagai sultan, pernyataan itu kurang pantas."
Yudhaningrat menyatakan bahwa Keraton Yogyakarta termasuk dinasti kekhalifahan yang memosisikan sultan sebagai penerus Nabi dalam pemahaman agama Islam. Sri Sultan HB X sebagai penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping X (yang kurang lebih berarti: pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, tuan semua orang yang percaya).
"Jelas, selama ini tidak ada Sultan Yogyakarta yang perempuan," kata Yudhaningrat. Ia mengaku tak keberatan kalau seorang putri menjadi ketua adat atau ketua budaya seperti terjadi di Mangkunegaran. Tapi, "Bukan sebagai kanjeng gusti," ujar Yudhaningrat, yang meyakini bahwa Keraton Yogyakarta menganut paham patriarki.
Berbeda dari raja perempuan Aceh, yang menurut dia bagian dari kerajaan Sumatera yang mengikuti garis perempuan (mamak) dalam paham matriarki. Ia juga mewanti-wanti bahwa selama ini sudah ada pedoman yang jelas, yakni paugeran (peraturan perundangan) keraton, yang menunjukkan tak ada sultan perempuan. "Kalau mau rusak-rusakan, silakan saja dicoba," katanya.
Menurut Yudhaningrat, jika prameswari tidak punya putra, maka dalam suksesi, yang berhak menjadi raja adalah "adiknya yang kakung". Dalam hal ini, ia menyebut nama Hadiwinoto sebagai kakak lelaki tertua. "Terserah dia siap dicalonkan atau tidak. Kalau tidak bersedia, giliran selanjutnya Hadisurya," tuturnya.
Yudhaningrat sendiri menampik bahwa ketidaksetujuannya atas wacana sultan perempuan itu sebagai bentuk keinginannya jadi raja. "Wah, urutan saya jauh," ujarnya, sembari menyebutkan bahwa dirinya berada di urutan 15-17 dari 22 putra Sultan HB IX.
Untuk diketahui, Sri Sultan HB X adalah putra dari garwa pawean atau istri kedua. Sebab Sultan HB IX tidak memiliki putra dari garwa padmi atau istri pertama. Dan tentang adik yang menggantikan kakaknya pernah terjadi ketika HB VI naik tahta pada 5 Juli 1855 menggantikan kakaknya, HB V.
Ahli hukum keraton, guru besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Sudikno, menyatakan bahwa dalam sejarah Keraton Yogyakarta belum ada sultan yang perempuan, sebab tidak tercantum dalam paugeran. Namun, menurut dia, paugeran bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ditentukan secara internal keraton.
"Mungkin saja sultan perempuan, boleh saja, asal berada dalam lembaga yang telah ditentukan sebagai hasil musyawarah keraton," kata profesor senior yang sering dilibatkan dalam soal tata aturan keraton itu.
Sementara itu, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bambang Purwoko, menilai masalah suksesi itu sebagai kewenangan Sultan dan pihak keraton. "Tidak ada urgensi membawa wacana ini ke masyarakat," kata pria yang rajin membantah jika dirinya disebut-sebut sebagai penasihat bahkan, kabarnya, penulis pidato Sri Sultan HB X itu.
Wacana suksesi sultan perempuan itu pun, menurut Bambang, tidak perlu dikaitkan dengan isu kesetaraan gender. Ia mengilustrasikan, ketika Elizabeth I bertahta di Inggris pada abad XVI, posisi perempuan dalam masyarakat Inggris ketika itu juga sangat tidak setara dibandingkan dengan laki-laki. Juga ketika Ratu Shima yang bergelar Sri Maharani Mahissasuramardini Satyaputikeswara bertahta di Kerajaan Kalingga pada abad VII, rakyat Jawa tentu masih sangat buta atas gagasan kesetaraan gender. "Toh, bisa saja seorang perempuan menjadi raja," ujarnya.
Karenanya, kata Bambang, jika semua pihak di Keraton Yogyakarta menganggap paugeran yang masih berlaku pada saat ini layak dipertahankan, sudah jelas siapa yang akan menjadi raja berikutnya. Tidak perlu repot-repot menggagas jenis kelamin raja berikutnya. Namun, kalau keraton menghendaki tampilnya raja perempuan, yang harus dilakukan hanyalah mengubah paugeran yang ada.
"Undang-undang dasar negara saja bisa diamandemen, tentulah paugeran juga bisa dengan mudah diubah. Hanya kitab suci agama yang seharusnya tidak boleh diubah-ubah," kata Bambang lagi.
Meski begitu, Bambang mengaku tidak bisa memungkiri bahwa pernyataan Sultan tentang raja perempuan itu mencerminkan keinginannya digantikan putrinya. "Bisa dibaca masyarakat seperti itu. Sikap (pernyataan Sultan) itu sebagai fungsi kepentingan," katanya.
Bambang Sulistiyo, dan Arif Koes Hernawan (Yogyakarta)
[Nasional, Gatra Nomor 32 Beredar Kamis, 17 Juni 2010]
http://www.gatra.com/artikel.php?id=138926
No comments:
Post a Comment