Raja wanita ?. Itu biasa, ada Ratu Elizabeth II di tahta kerajaan Inggris, dan beberapa ratu di beberapa negara lainnya yang juga berbentuk monarki.
Presiden wanita ?. Itu juga biasa, ada Megawati Soekarnoputri yang pernah menjabat sebagai Presiden di Republik Indonesia, dan beberapa beberapa negara lainnya yang juga pernah mempunyai Presiden wanita.
Hanya dalam soal Presiden Wanita ini, barangkali sebagai catatan pengecualiannya justru adalah negara yang dianggap sebagai mbahnya demokrasi, yaitu United States of America atau Amerika Serikat, yang malahan belum pernah mempunyai Presiden wanita.
Khalifah wanita ?. Ini yang tidak biasa. Dan, tidak hanya soal tidak biasa saja, namun juga belum pernah ada.
Hal yang tidak biasa ini kemungkinan akan berubah biasa dan jga akan merubah yang tadinya belum pernah ada menjadi pernah ada.
Jika ini kesampaian terjadi, maka ini akan menjadi catatan sejarah baru yang sangat mensejarah.
Catatan sejarah baru itu akan ditorehkan oleh Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jika merujuk dari keinginan permaisuri di Kasultanan tersebut, yaitu GKR Hemas, yang kemudian keinginannya itu telah mendapatkan pengkukuhan dari suaminya yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono X, maka di masa depan untuk pewaris tahta atas kerajaan itu akan diberikan kepada putri tertuanya yaitu Gusti Kanjeng Ratu Pembayun.
Jadilah di masa nantinya, GKR Pembayun itu akan bergelar ‘Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’.
Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta itu didalam gelarnya disebutkan sebagai ‘Senapati ing Ngalaga’, dimana gelar itu secara terjemahan bebasnya berarti sang pemegang gelar tersebut adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan.
Sedangkan gelar ‘Sayidin Panatagama’ itu secara terjemahan bebasnya berarti sang pemegang gelar tersebut adalah pemimpin dalam menata urusan agama.
Lalu didalam gelar ‘Khalifatullah‘ berarti bermakna pemegang gelar tersebut adalah Khalifahnya Allah SWT.
Sebagaimana diketahui, semenjak berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro sampai dengan saat ini, baik di Kasunanan dan Mangkunegaran di Surakarta maupun di Kasultanan dan Pakualaman di Yogyakarta, belum pernah ada pemegang tahta kerajaan dari kalangan kaum wanita.
Didalam sejarah suksesi tahta kasultanan Yogyakarta sendiri pernah ada pewaris tahtanya bukanlah anaknya, akan tetapi adalah saudara laki-lakinya. Hal itu setidaknya dapat dilihat dalam sejarahnya tahta Sri Sultan Hamengku Buwono V dan Sri Sultan Hamengku Buwono VI.
Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang sewaktu mudanya bernama GRM Mustojo adalah adik laki-laki dari Sri Sultan Hamengku Buwono V yang sewaktu mudanya bernama GRM Ghatot Menol.
GRM Ghatot Menol dan GRM Mustojo adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono IV dari salah satu garwanya yaitu GKR Kencono.
Memang di era sebelumnya, yaitu Majapahit yang merupakan kerajaaan Hindu Budha itu pernah ada pada suatu masa dimana yang duduk di singgasana tahta kerajaannya adalah seorang perempuan atau seorang ratu.
Sebagaimana diketahui pula, Sri Sultan Hamengku Buwono X yang tidak mempunyai anak laki-laki itu sedang berjuang dalam mempertahankan kelangsungan keistimewaan bagi Sultan di kerajaannya untuk tetap secara otomatis ditetapkan menjabat sebagai Gubernur di propinsinya.
Belum lama ini berkait denga hal itu, Sri Sultan Hamengku Buwono X melontarkan ‘tantangan’ kepada pemerintah pusat, dalam hal ini adalah pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden SBY, untuk mengadakan ‘referendum’.
Referendum itu terkait dengan keinginan pemerintah pusat yang tak lagi ingin meneruskan keberlangsungan keistimewaan bagi Sultan di kerajaan itu, sehingga Sultan tak lagi secara otomatis ditetapkan menjabat sebagai Gubernur di propinsinya tersebut.
Hal itu tentu terkait dengan nasib tahta kasultanan yang akan diwariskannya kepada anak perempuannya, yaitu GKR Pembayun. Dalam arti, jika keberlangsungan keistimewaan itu tak lagi ada, maka GKR Pembayun meskipun berhasil menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono XI, namun tak otomatis menjabat sebagai gubernur.
Terkait dengan GKR Pembayun yang digadang-gadang oleh ayahanda dan ibundanya untuk menjadi pewaris tahtanya itu, akankah gelar ‘Sayidin Panatagama’ dan gelar ‘Khalifatullah ‘ itu kemudian akan ditanggalkannya, sehingga GKR Pembayun hanya akan bergelar ‘Sampeyan Dalem ingkang Sinuhun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga ingkang Jumeneng Kaping Sewelas’ saja ?.
Ataukah, GKR Pembayun sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono XI akan mencatat sejarah baru sebagai ‘Sayidin panatagama dan khalifah wanita’ yang pertama kali dalam sejarah ?.
Wallahualambishshawab.
No comments:
Post a Comment