Sunday, December 12, 2010

Sekar Kedaton Menyongsong Tahta

Yogyakarta, 4 Juni 2002 00:07
SEBATANG rokok lintingan diisapnya dalam-dalam. Warna kulit wajahnya tampak makin legam setelah seharian terpanggang terik matahari. Impitan ribuan orang yang menyemut di seputar Alun-alun Yogyakarta pun tak dihiraukan. Penantian panjangnya berbuah hasil, kala jarum jam hampir menunjukkan pukul empat sore. Air muka Suratmo, 60 tahun, pria yang tak peduli dengan kelelahan itu, mendadak sontak berbinar tatkala kereta berjuluk Kanjeng Kyai Jong Wiyata menuju ke arahnya, Selasa pekan lalu.

Sejenak, Mbah Atmo --demikian ia biasa disebut-- terpaku ketika ribuan tangan melambai-lambai. Pandangannya tak mau beranjak dari kereta dan penumpangnya, pasangan pengantin agung Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Wironegoro, yang terus mendekat. Ketika yang dinanti melintas tepat di depannya, laki-laki yang datang dari Godean, delapan kilometer arah barat Yogyakarta, itu langsung menjulurkan lengannya yang kurus.

Hup...! Ia berhasil menyentuh badan kereta. Sejenak saja. Sejurus kemudian, badan kerempeng Mbah Atmo terlempar, didorong petugas keamanan. Meski begitu, ia sudah merasa cukup bahagia."Kulo namung bade mangertos putri Ngarsa Dalem ingkang mbarep, sasarengan nyuwun berkah (Saya hanya ingin mengetahui putri Sri Sultan yang paling besar, sambil meminta berkah)," katanya.

Bagi wong cilik seperti Mbah Atmo, dan juga kebanyakan rakyat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, kemunculan Pembayun memang sangat dinanti. Maklumlah, ia bukan semata putri keraton. Lebih dari itu. Sudah lama beredar kabar, sulung dari lima putri Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dan Ratu Hemas ini dipersiapkan sebagai pewaris tahta kerajaan. Dari gelar GKR yang ditabalkan menjelang pernikahan pun, banyak yang menerjemahkannya sebagai pertanda bahwa dia bakal jadi orang nomor satu di keraton.

Dari lingkungan keraton sendiri, sebetulnya kabar suksesi yang mengarah ke Pembayun belum terang betul. Sri Sultan HB X, misalnya, lebih banyak menghindar jika disentil soal tema yang satu ini. Ketika dicegat Gatra usai main golf di Merapi Golf, Desa Kepuh Harjo, Cangringan, Sleman, Kamis sore pekan lalu, misalnya, Sultan justru minta didoakan agar panjang umur. "Suksesi belum dipikirkan. Udah ya, matur nuwun," katanya, seraya masuk ke mobilnya, Mercedes New Eyes.

Kalaupun pertanda itu sedikit lebih jelas, terkuak dari permaisuri Sultan, Ratu Hemas. Ia menyiratkan bahwa putrinya sudah siap jika kelak ditakdirkan menggantikan ayahnya. "Memang harapan kita, perempuan itu diberi kesempatan memimpin," kata Hemas. Baginya, pada masa mendatang, segala sesuatu bisa saja berubah, termasuk kalau perempuan harus memimpin kesultanan. Ini mengingat Sri Sultan HB X tak dikaruniai anak laki-laki.


Di mata Tatik Deradjat --nama lahir Ratu Hemas-- putri sulungnya itu punya kemampuan memimpin. Pembayun, katanya, tergolong anak yang cerdas. Sikap dan perilakunya pun seperti Ngarsa Dalem --panggilan kepada Sri Sultan-- yang lebih banyak diam dan sangat dekat dengan rakyat. "Bagi saya, tak jadi masalah lagi untuk mempersiapkannya (jadi penerus tahta --Red.)," katanya (lihat wawancara dengan Ratu Hemas: Pembayun Harus Mampu).

Bakal muluskah Pembayun menuju singgasana? Tentu tak mudah jika langsung menjawab: "ya!" Toh, selain Pembayun, masih ada pewaris tahta lain yang juga punya hak. Ia adalah adik kandung Sri Sultan HB X, Kanjeng Gusti Pangeran Hadiwinoto. Tak tertutup kemungkinan, perkara kursi kerajaan ini bisa menimbulkan gesekan. Walaupun, sesuai dengan adat Jawa yang tak suka membuka konflik, potensi ini masih terlihat adem-ayem saja.

Hadiwinoto, misalnya, memilih bungkam ketika ditanya masalah ini. "Saya tidak berwenang ngomong masalah ini," kata dia. Ucapan Hadiwinoto pun diamini adiknya, Gusti Bendoro Pangeran Haryo Joyokusumo.

Namun, bukan berarti tak ada suara sumbang. Beberapa kerabat sangat dekat dengan Sultan yang tak mau disebut namanya malah terang-terangan menentang. Menurut mereka, yang berhak atas tahta kelak adalah Hadiwinoto. Hal ini sesuai dengan konvensi Kerajaan Mataram Islam. "Kalau nanti jatuh ke tangan GKR Pembayun, terus gelarnya apa? Tidak ada dalam kamus keraton," kata seorang di antara mereka.

Kerabat keraton lainnya menimpali. Hanya anak laki-laki yang berhak atas kursi Kesultanan Yogyakarta. "Di luar itu sudah tidak masuk dalam buku keraton," katanya. Apalagi kalau sampai ada pikiran kelak mendudukkan anak laki-laki Pembayun sebagai raja. "Seorang cucu lebih-lebih tak diatur dalam konvensi," ujarnya. Walau tak setuju, mereka tetap tak berani mengungkapkannya secara terbuka. "Sangat sensitif. Tunggu saja nanti pada waktunya," katanya.

Memang, kalau Pembayun menjadi ratu, bisa jadi bakal meruntuhkan tradisi yang selama ini hidup 253 tahun di Kesultanan Yogyakarta. Sejak Mangkubumi menobatkan diri sebagai raja pertama pada 1749, Keraton Yogyakarta selalu dipimpin oleh raja.

Menurut Prof. Dr. Djoko Suryo, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pakem lama memang menyebutkan bahwa raja di Jawa selalu berasal dari gender laki-laki. Ketentuan itu tersurat dalam konvensi tradisional Kerajaan Mataram: "Yang berhak menggantikan tahta adalah putra mahkota yang telah diangkat resmi, yakni putra laki-laki tertua dari garwa padmi atau permaisuri."

Kalaupun kini seorang putri dipersiapkan menjadi ratu, kata Djoko, itu sepenuhnya tergantung titah Sri Sultan. Tentunya setelah berembuk dan bersepakat dengan keluarga inti keraton. Permasalah muncul, tutur Djoko, tatkala ratu mesti mengemban sayidin panatagama atau imam, salah satu peran yang selama ini melekat pada Sultan Keraton Yogyakarta. "Kalau dalam pakemnya, kan dilarang seorang wanita jadi imam," katanya.

Di samping itu, masih menurut Djoko, suksesi di Keraton Yogyakarta juga punya rambu yang tertera dalam Serat Puji, ditulis pada masa Sultan HB V, tahun 1846-1850. Serat yang bersandar pada ajaran Islam itu, kata Djoko, memuat 10 syarat untuk menjadi raja. Di antaranya, harus alim dan bertakwa. Nah, pada syarat buncit tertera: "Kalau bisa, jangan perempuan." "Tapi, ya, kalau bisa," kata Djoko, berseloroh.

Ketentuan ini, menurut Djoko, erat kaitannya dengan peran sayidin panatagama seorang sultan. "Kalau seorang putri, nantinya sulit menjalankan fungsi keagamaan," ujarnya. Selain itu, ada juga 25 dalil dalam Serat Tajusalatin dari riwayat Imam Buchari Muslim, yang mengajarkan sejumlah syarat menjadi raja yang baik. Salah satunya juga mesti laki-laki.

Meski begitu, Djoko tetap memandang bahwa rambu-rambu itu bukanlah harga mati. Jika sultan tak memiliki anak laki-laki, tentu akan terjadi pergeseran tentang siapa yang bakal meneruskan tahta. Apakah adik laki-laki sultan atau putri tertua raja? Semua keputusan terpulang kepada sultan yang punya kekuasaan tertinggi. "Raja memang otoriter. Tapi, di sini juga tetap ada konsensus dengan pihak keluarga," kata Djoko.

Walau tak hendak mendahului keputusan Sultan, Djoko melihat, Sekar Kedaton --panggilan Putri Pembayun yang berarti bunga keraton-- memang punya kemungkinan jadi "raja". Menurut dia, di masa datang, raja hanyalah jabatan kultural, dan tak punya kekuatan politis alias tak punya kekuasaan lagi. "Kalau hanya sebuah simbol, kenapa seorang putri tak bisa?" kata guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Bagi Djoko, dari segi kapasitas pun, Pembayun sanggup menjalankan fungsi seorang raja. Kalaupun ada keterbatasan dalam menjalankan peran sebagai imam, Djoko menyarankan, bisa diatasi dengan mengangkat seorang patih. Itu pun tak mutlak. Toh, Djoko mempertanyakan, apakah zaman sekarang fungsi keagamaan menjadi penting sekali bagi raja? "Entah bagaimana caranya, terserah Sulatn HB X," katanya.

Djoko juga tak khawatir peran Kasultanan Yogyakarta bakal berkurang dalam kancah politik nasional. Jika memang berniat mendudukkan Pembayun di kursi singgasana, tentu sejak sekarang Sri Sultan sudah harus mempersiapkannya. "Supaya Pembayun memiliki kapasitas, jiwa leadership, dan berwawasan luas. Paling tidak, menyamai peran yang telah dilakoni kakeknya, HB IX, dan ayahnya, HB X," kata Djoko.

Rupanya, harapan Djoko ini sudah disadari pihak keraton. Semenjak Sri Sultan menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, tahun 1998, Jeng Sari --demikian panggilan Pembayun-- diminta menetap di Yogyakarta. "Mungkin Sri Sultan mau memiliki penggalih (perasaan) yang banyak untuk tugas-tugas dan kegiatan Sari. Jadi, bimbingan awalnya adalah anak saya tak boleh keluar dari Yogyakarta," kata Ratu Hemas.

Sejak itu pula, Jeng Sari sudah mengurus beberapa usaha Ngarsa Dalem, termasuk jadi komisaris utama di pabrik gula Madukismo dan anggota Dewan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat Mataram. Di luar tembok istana, perempuan kelahiran 24 Februari 1973 ini masih punya seabrek kegiatan. Di antaranya menjadi Ketua Yayasan Anak Mandiri, yang menghimpun sejumlah dana untuk beasiswa bagi siswa dan mahasiswa cerdas yang kurang mampu.

Gusti Raden Ajeng Nurmalitasari --demikian nama lahir Pembayun-- juga punya usaha pemintalan benang sutra liar lewat PT Yarsilk Gora Mahottama yang dipimpinnya. Dari kegiatan persutraan ini, nama Pembayun dikenal dunia luar. Pada penghujung April lalu, di Yogyakarta, misalnya, ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Konferensi Internasional ke-4 dan Pameran Sutra Liar, yang melibatkan peserta dari sembilan negara.

Suatu tugas yang tak begitu sulit bagi Pembayun. Pergaulan dengan negeri asing memang sudah lama dilakoninya. Ketika baru duduk di bangku kelas II SMA, ia sudah terbang ke Australia untuk melanjutkan sekolah di sana. Kemudian Pembayun melanjutkan pendidikan di University of Griffith Australia, dan membawa pulang ijazah sarjana bisnis retail pada 1998.

Pengembaraannya yang panjang di "negeri kanguru" itu membuat pembawaan Pembayun sedikit berbeda dari gambaran putri keraton selama ini yang "tertutup". Tampilannya funky dan gaul. Masuk ke diskotek bukanlah pantangan. Namun, bukan berarti kepribadian Jawanya lantas luluh. Ia tetap wanita yang santun.

Di kalangan keraton, Jeng Sari juga dikenal sebagai penari Jawa klasik yang jempolan. Keterampilan ini ia pupuk sejak usia tujuh tahun dengan berlatih kepada Ibu Tiah, istri empu penari klasik R.W. Sasminto Mardawa. Sepulang ke Tanah Air, ia memperdalam tarian yang bernilai sakral, yaitu tari bedaya. Kini, ia termasuk penari andalan untuk membawakan tari Bedaya Sang Amurwabumi, ciptaan ayahnya.

Ada peristiwa yang tak bisa pupus dari ingatannya, yakni ketika Pembayun unjuk kebolehan menari di hadapan kakeknya, HB IX, di Jepang pada 1988. Ketika itu, HB IX sedang dalam perjalanan ke Amerika Serikat untuk berobat. Namun, beberapa hari kemudian, mantan wakil presiden ini wafat.

[Hidayat Gunadi, Joko Syahban, Sujoko, Sawariyanto, dan Kristiyanto (Yogyakarta)]
[Laporan Utama, GATRA Nomor 29 Beredar 3 Juni 2002]

http://www.gatra.com/2002-06-04/artikel.php?id=18019

No comments:

Post a Comment