Saturday, December 4, 2010

Kemasan Demokrasi - Perilaku Tirani

04/12/2010 05:20:07 Tampaknya kontroversi monarki versus demokrasi menjadi hangat setelah bola panas dilempar oleh Presiden SBY dalam rapat kabinet sekitar seminggu lalu. Begitu hantaman menjadi bertubi-tubi bukan hanya dari Yogya namun dari hampir seluruh pakar maupun masyarakat Indonesia, pemerintah pusat menyampaikan lewat menteri maupun anggota partainya bahwa ‘rakyat salah paham’ bahkan ‘Diperpolitisir’, yang didengar hanya kulitnya, wah naif bener cara berpikirnya. Namun banyak pihak berpendapat bahwa justru presiden yang meng-create kesalah pahaman ini karena entah sengaja untuk maksud tertentu atau memang tak paham. Mengherankan ketika monarki dipertentangkan secara langsung dengan demokrasi. Secara mendasar bahwa menurut ilmu kepemerintahan yang disebut Monarki yaitu pemerintahan bersifat kerajaan ini mempunyai dua sifat ialah Absolute Monarchy seperti yang dilaksanakan ketika raja Prancis seperti Louis XVI yang di awal pemerintahannya sangat dicintai rakyatnya dan kemudian memerintah dengan sewenang-wenang dengan peran Maria Antoinette sang permesuri yang mempunyai gaya hidup tinggi sebagai pewaris kebangsawanan Austria yang akhirnya keduanya dihukum dengan guillotine. Dan ingat lho, sejarah sering berulang kembali. Kemudian ada pemerintahan Monarki Konstitusional seperti sekarang masih banyak dianut di Eropa seperti, Inggris Raya, Nederland, Spanyol, Belgia, Monaco dan di Asia misalnya Thailand, Jepang dll, meskipun tampilannya monarchi namun perilaku pemerintahannya demokrasi karena menganut asas trias politica. Kemudian ada pemerintahan dengan kemasan demokratis namun dalam pelaksanaannya tiran atau absolutism seperti zaman Orba, Idi Amin atau lengkapnya Idi Amin Dada Oomee Presiden Uganda, dll. Jadi sebenarnya kita tak perlu perlu alergi dengan kata monarki dan jangan terlalu silau dengan kata demokrasi kalau semua itu hanya tampilan atau kemasan saja. Dengan berpretensi baik, bahwa pidato di rapat kabinet seminggu lalu bukan disengaja salah, ini berarti pemahaman terhadap suatu kata penting sangat dangkal. Selain itu, untuk Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) karena gubernurnya seorang raja dan memimpin provinsi seumur hidup dikatakan monarki. Padahal ini kan hanya kemasan, tapi dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan di DIY sesuai dengan pemerintahan republik, segala sistem perundang 9annya jadi perilakunya demokrasi namun keadaan ini dikatakan tidak demokratis dan disebut monarki. Inilah cara pengambilan keputusan berdasarkan premis minor dan mengesampingkan premis mayor. Dan dalam draft RUUK-DIY yang dibahas di sidang kabinet tanggal 2 Desember 2010 nampaknya pemerintah ngotot sesuai keinginannya seperti yang disampaikan presiden (dikutip dari KR, 03/12/10) sbb: “Apalagi hanya direduksi urusan Sultan dengan saya. Bukan. Justru yang tengah kami pikirkan, kita rancang bersama DPR kemudian ditetapkan dalam UU adalah keistimewaan Yogyakarta dalam arti utuh dan menyeluruh. Yang di dalam UU dewasa ini soal itu belum diatur secara eksplisit”. Bandingkan pernyataan ini dengan apa yang terjadi ketika pada periode Parlemen DPR-RI 2004-2009 yang mana Komisi II membahas RUUK-DIY ini dengan posisi 9 fraksi menyetujui penetapan gubernur DIY dan hanya satu pemilihan yaitu fraksi Demokrat namun urung menjadi UUK-DIY, substansi alasannya adalah RUUK-DIY ini adalah inisiatif Pemerintah hingga bila pengusul tidak setuju maka tak dapat dilanjutkan walau mayoritas wakil rakyat bersikap sebaliknya. Sedangkan operasi penggagalannya adalah dengan mangkir sidang hingga habis waktu, periode anggota dewan yang kebetulan waktunya bertepatan dengan puasa dan masa reses, jadi memang menguntungkan untuk berulah. Bukankah ini pelecehan terhadap anggota dewan yang nyata-nyata telah bekerja keras namun hasilnya dinafikan dengan begitu saja melalui tindak-tanduk Macliavellis? Dan lagi bukankah ini yang dinamakan kemasan demokrasi namun perilaku tirani? Pertanyaan warga Ngayogyakarto: keculasan apa lagi yang akan dimainkan? Bila perilaku para orang yang seharusnya sebagai negarawan dengan kemasan demokrasi namun perilakunya diktator saya jadi ingat akan sajak Heinrich Heine seorang penyair satir Jerman di abad ke 19 yang 25 tahun hidupnya mengasingkan diri di Paris karena diberangus oleh pemerintahnya sbb: Tersenyum, meninggal seorang tiran; Krena, tahu sesudah ya pergi; Diktatorisma, hanya berpindah tangan; Dan, perbudakan berlanjut abadi. Betapa malang nasibmu nak, bangsa Indonesia ini, karena dipimpin oleh para politikus bukan oleh negarawan. Padahal harapan semua orang ketika menjadi pimpinan tertinggi negara yang yang didambakan adalah seorang negarawan, yang saya pinjam dari istilah Cak Nun bahwa pemimpin yang dalam dirinya berisi seluruh rakyat bukan pemimpin yang dalam dirinya hanya penuh dengan dirinya sendiri plus keluarga dan kroni. Yang jelas kita tidak memerlukan politikus di level ini karena politik adalah pemangku kepentingan, dan untuk politikus ini telah digambarkan dengar sangat sederhana, renyah namun satir sbb: If you throw a politician to the river; You will get a pollution; But if you throw all politicians to the river; So you will get a solution. Maka sebaiknya sebagai sebuah bangsa besar pemerintah ini dapat sedikit cerdas, dari pada mengusik RUUK-DIY yang ayem tentrem lebih baik pikirkan masalah-masalah pemberantasan budaya korupsi, mafia hukum, pelecehan harkat dan martabat TKI, keamburadulan sistem pendidikan, degradasi kedaulatan bangsa dan negara di wilayah NKRI, dan ingat jangan pandang enteng masalah penembakan misterius di Papua, itu hanya simptom bukan intinya. Seperti disampaikan pemberitaan di Papua Barat, saat ini para separatis telah mempunyai perwakilan di Port Moresby dan beberapa negara telah mengizinkan pengibaran bendera OPM di negaranya selama 10 hari dalam rangka Hari Jadi ke 49 OPM yaitu seperti Wali Kota Oxford, dan kalau tidak salah juga di Australia, New Zealand, Papua Nuigini telah ada yang mulai mengizinkannya. Selain itu negara-negara besar baru mulai menunjukkan kekuatan ekonomi maupun pengaruh globalnya seperti Brazilia, Rusia, India dan China (BRIC) dan sebenarnya Indonesia punya kans untuk setara dengan keempat negara besar ini dipandang dari segi modal sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Maka seyogianya segeralah pemerintah menoleh menuju ke sana dari pada kehabisan energi dan kehilangan muka hanya untuk Yogya hingga nantinya entitas negara-negara ini menjadi IBRIC karena ditambah Indonesia hingga dalam geopoitik akan dapat lebih mengimbangi keangkuhan Amerika maupun soliditas Eropa. Saran saya solusi untuk RUUK-DIY ini, silakan saja untuk berpenampilan glamour dalam membangun citra diri tapi berpikir dan bertindaklah yang sejuk dan sebaliknya soal keteduhan warga Ngayogyakarta, saya yakin pasti cool kalau gubernur dan wakil gubernur DIY ditentukan dengan cara penetapan. Gampang kan? Gitu saja kok repot. q-g-(2086-2010). *) Prof Dr Ir Sunjoto, Rektor UWMY, Ketua Gentaraja.

No comments:

Post a Comment